Sebaik-baiknya
tempat persinggahan adalah rumah sendiri, dimana disanalah letak senyuman
keluarga diatas segala-galanya. Hati perantau yang sedang gundah gulana karena
jauh dari rumah itu wajar, karena bisa jadi hati dan jiwa itu sedang kehilangan
tempat pengistirahatan selak beluk problema hidup yang sulit dicari akar
solusinya. Namun, ketika hati dan jiwa tiba di rumah sendiri, perasaan khawatir
dan takut akan sekejap berubah menjadi tenang dan tentram, maka telah pantas
jika mayoritas orang berkata bahwa rumah itu ‘aset’ yang benar-benar tak
ternilai, yang sulit tuk dibeli walau dengan uang setangki. Ini membuktikan
bahwa jelas, rumah yang walau setua apapun umurnya akan terus menjadi tempat
menyimpan sebuah cerita dan kenangan masa lalu yang sifatnya abadi, rumah
sendiri tak punya pengganti walau dicari kemanapun, karena memang tiada cara
yang mampu mengembalikan kekongkritan sebuah sejarah abadi dari rumah sendiri. Jika
memang sepenting itu esensi rumah sendiri, apakah di zaman modern kini negara
Indonesia sebagai ‘rumah sendiri’ bagi rakyatnya masih memiliki hakikat yang
sama? Tidakkah di era serba canggih dan cepat ini Indonesia dibuat cemas akan
maraknya kasus-kasus yang mengkhawatirkan negeri ini? Memangnya apa yang sudah terjadi
di negeri hukum ini?
Indonesia,
Negara yang ELOK karena keindahan paras alam rayanya, KAYA karena hasil Sumber
Daya Alamnya, BESAR karena jasa para pahlawannya yang bertaruh jiwa dan raga
demi Indonesia merdeka diakui dunia. Namun sayang, dibalik keluarbiasaan
Indonesia masih hidup mental-mental pengecut di tanah mulia ini. Yakni merekalah
sang perusak martabat negara, mentalnya para abdi negara yang mudah berkhianat
akan sumpah setianya pada negeri hebat ini. Merekalah yang sudah menodai moral
bangsa, mental para pencari kepuasan duniawi yang timbul karena ada kesempatan
di jalan remang-remang dan dibawah alam sadar. Merekalah sang pencuri masa
depan, mental para insan yang salah memaknai kehidupan, hidup akan kepercayaan
yang melenceng serta berjuang dalam jalan yang tak semestinya, membunuh satu
demi satu jiwa-jiwa tak berdosa demi mempertahankan isme yang menurut akalnya
‘paling benar’. Jika hukum itu sebuah jawaban atas setiap kejahatan kemanusiaan
di negeri ini yang satu demi satu silih berganti layaknya episode sinetron
stripping tak berujung, seperti korupsi, asusila hingga terorisme. Dapatkah kita
membayangkan bagaimana ending
ceritanya?akankah hukum menyiratkan sebuah ketidakpuasan dengan sad endingnya? ataukah akan berakhir
dengan keadilan bagi semua pihak sebagai interpretasi happy ending? Jika hanya ada dua probabilitas di dunia ini, saya
pikir kasus kemanusiaan di negeri ini akan mengakhiri secuil episode terakhir
bernuansa netral, bukan merasa adil
dan bukan pula merasa sedih, Namun diantara itu, rasa cemas. Lalu, haruskah negara
yang menjadi tempat lahir dan pijakan tunggal rakyat tulennya pasrah menerima
noda-noda penoreh citra buruk kebesaran Negara Indonesia?
Kemanusiaan
merupakan persoalan dasar kehidupan. Dunia ada berkat kebesaran Tuhan, lalu berwarna
karena manusia hidup, manusia hidup karena sebuah fase penciptaan, dan sekali
lagi ditegaskan itu pun berkat anugerah Tuhan. Lalu, jika kasus kemanusiaan
meradang di negeri tercinta ini, haruskah Tuhan yang harus disalahkan?Kesampingkan
persepsi melenceng itu, mari merenung dan mengingat sejenak mengenai kehidupan
Adam dan Hawa berjuta tahun silam di syurga, ingat bahwa Tuhan pada mulanya
mempertemukan mereka dalam keadaan sama-sama bahagia, lalu masalah timbul
ketika apa?tidak lain ketika syetan berusaha membujuk rayu Adam untuk memakan
buah khuldi, padahal sebelumnya sudah Tuhan larang untuk lakukan itu, sehingga
pada akhirnya sebagai ganjaran, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi dengan keadaan
terpisah. Dari sejarah mula manusia itu secara tidak langsung memberikan
gambaran bahwa setiap persoalan dan kasus kemanusiaan di dunia ini dari level
paling sederhana hingga paling kompleks selalu ada sangkut pautnya dengan
‘godaan’ syetan, juga karena kejahatan kemanusiaan akan timbul bukan selalu
karena ada niat sang pelaku, namun karena ada kesempatan. Korupsi marak
terjadi, tidak akan terus menjadi budaya hingga kini jika pengawasan keuangan
secara berkala diawasi dan dijaga sebaik mungkin. Kasus asusila terjadi karena
pasti ada penyebab entah dari sang korban atau bahkan pelakunya sendiri, entah
karena korban berpakaian seksi, berjalan dengan aura menggoda dan dapat pula
karena pure kesalahan sang pelaku
yang depresi sehingga mabuk-mabukan dan tanpa sadar memangsa wanita tak berdosa.
Begitupun dengan halnya terorisme, kejahatan kemanusiaan itu masih ada hingga
kini karena masih ada yang menyebarkan paham itu, bayangkan jika akarnya ditiadakan,
takkan berlanjut pulalah kebudayaan-kebudayaan buruk yang tidak semestinya
turun-temurun ada ini.Lalu, jika terus begini keadaannya, apakah hukum yang
katanya ‘kuat’ di negeri ini masih mampu untuk memberantas kasus kemanusiaan
sehingga rakyatnya akan kembali tenang berada di rumah sendiri?ataukah negeri
ini akan berpasrah diri saja tergoda bujuk rayu syetan sampai Tuhan memberikan
ganjaran setimpal pada manusianya?tidak, yakinlah kasus kemanusiaan akan
berkurang atau bahkan hilang seiring kesadaran satu persatu manusia di negeri
ini, karena manusia punya akal dan bisa terus berpikir untuk mensugestikan
dirinya senantiasa berubah dan mengarungi kehidupan lebih baik dari hari ini.
Keimanan manusia layaknya ban yang bisa kempis jika digunakan terus menerus,
dan dapat keras kembali jika dipompa, oleh karenanya jawaban atas setiap
kecemasan yang mulai hinggap karena
peningkatan kasus kemanusiaan di Indonesia adalah dengan terus memompa
iman, ingat kembali akan tujuan penciptaan manusia, tidak seharusnya
menciptakan persoalan namun ciptakanlah kebermanfaatan.
Dengan
demikian, Indonesia sebagai rumah sendiri bagi rakyatnya memang akhir-akhir ini
dibuat cemas akan kasus-kasus kemanusiaan yang marak terjadi.Seakan-akan slogan
kemanusiaan yang seharusnya “memanusiakan manusia” berubah maknanya menjadi “menjadikan
manusia bukan manusia”.Kekompleks-an persoalan demi persoalan kemanusiaan yang
hinggap di bumi pertiwi ini memang semestinya membuat rakyat Indonesia tidak
betah berada di Indonesia, namun ingatlah bahwa setiap persoalan timbul sebab
manusia itu sendiri dan berakibat pada manusia itu sendiri pula, sehingga solusinya
pun berasal dari manusianya sendiri juga, dengan memperkuat rasa keimanan pada
Tuhan Yang Maha Esa dan selalu taat hukum akan membuat rasa cemas pada negeri
ini akan hilang. karena sejatinya, rumah sendiri itu tempat kedamaian, bukan
tempat permasalahan.
Jadikan
Indonesia bebas kasus kemanusiaan, karena Indonesia layak tuk terus dipertahankan.
Manusia
Indonesia manusia cerdas, yuk sama-sama kasus kemanusiaan kita berantas!
#LOMBAESAIKEMANUSIAAN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar