Senin, 05 September 2016

Cemas di Rumah Sendiri


Sebaik-baiknya tempat persinggahan adalah rumah sendiri, dimana disanalah letak senyuman keluarga diatas segala-galanya. Hati perantau yang sedang gundah gulana karena jauh dari rumah itu wajar, karena bisa jadi hati dan jiwa itu sedang kehilangan tempat pengistirahatan selak beluk problema hidup yang sulit dicari akar solusinya. Namun, ketika hati dan jiwa tiba di rumah sendiri, perasaan khawatir dan takut akan sekejap berubah menjadi tenang dan tentram, maka telah pantas jika mayoritas orang berkata bahwa rumah itu ‘aset’ yang benar-benar tak ternilai, yang sulit tuk dibeli walau dengan uang setangki. Ini membuktikan bahwa jelas, rumah yang walau setua apapun umurnya akan terus menjadi tempat menyimpan sebuah cerita dan kenangan masa lalu yang sifatnya abadi, rumah sendiri tak punya pengganti walau dicari kemanapun, karena memang tiada cara yang mampu mengembalikan kekongkritan sebuah sejarah abadi dari rumah sendiri. Jika memang sepenting itu esensi rumah sendiri, apakah di zaman modern kini negara Indonesia sebagai ‘rumah sendiri’ bagi rakyatnya masih memiliki hakikat yang sama? Tidakkah di era serba canggih dan cepat ini Indonesia dibuat cemas akan maraknya kasus-kasus yang mengkhawatirkan negeri ini? Memangnya apa yang sudah terjadi di negeri hukum ini?

Indonesia, Negara yang ELOK karena keindahan paras alam rayanya, KAYA karena hasil Sumber Daya Alamnya, BESAR karena jasa para pahlawannya yang bertaruh jiwa dan raga demi Indonesia merdeka diakui dunia. Namun sayang, dibalik keluarbiasaan Indonesia masih hidup mental-mental pengecut di tanah mulia ini. Yakni merekalah sang perusak martabat negara, mentalnya para abdi negara yang mudah berkhianat akan sumpah setianya pada negeri hebat ini. Merekalah yang sudah menodai moral bangsa, mental para pencari kepuasan duniawi yang timbul karena ada kesempatan di jalan remang-remang dan dibawah alam sadar. Merekalah sang pencuri masa depan, mental para insan yang salah memaknai kehidupan, hidup akan kepercayaan yang melenceng serta berjuang dalam jalan yang tak semestinya, membunuh satu demi satu jiwa-jiwa tak berdosa demi mempertahankan isme yang menurut akalnya ‘paling benar’. Jika hukum itu sebuah jawaban atas setiap kejahatan kemanusiaan di negeri ini yang satu demi satu silih berganti layaknya episode sinetron stripping tak berujung, seperti korupsi, asusila hingga terorisme. Dapatkah kita membayangkan bagaimana ending ceritanya?akankah hukum menyiratkan sebuah ketidakpuasan dengan sad endingnya? ataukah akan berakhir dengan keadilan bagi semua pihak sebagai interpretasi happy ending? Jika hanya ada dua probabilitas di dunia ini, saya pikir kasus kemanusiaan di negeri ini akan mengakhiri secuil episode terakhir bernuansa netral, bukan merasa adil dan bukan pula merasa sedih, Namun diantara itu, rasa cemas. Lalu, haruskah negara yang menjadi tempat lahir dan pijakan tunggal rakyat tulennya pasrah menerima noda-noda penoreh citra buruk kebesaran Negara Indonesia?

Kemanusiaan merupakan persoalan dasar kehidupan. Dunia ada berkat kebesaran Tuhan, lalu berwarna karena manusia hidup, manusia hidup karena sebuah fase penciptaan, dan sekali lagi ditegaskan itu pun berkat anugerah Tuhan. Lalu, jika kasus kemanusiaan meradang di negeri tercinta ini, haruskah Tuhan yang harus disalahkan?Kesampingkan persepsi melenceng itu, mari merenung dan mengingat sejenak mengenai kehidupan Adam dan Hawa berjuta tahun silam di syurga, ingat bahwa Tuhan pada mulanya mempertemukan mereka dalam keadaan sama-sama bahagia, lalu masalah timbul ketika apa?tidak lain ketika syetan berusaha membujuk rayu Adam untuk memakan buah khuldi, padahal sebelumnya sudah Tuhan larang untuk lakukan itu, sehingga pada akhirnya sebagai ganjaran, Adam dan Hawa diturunkan ke bumi dengan keadaan terpisah. Dari sejarah mula manusia itu secara tidak langsung memberikan gambaran bahwa setiap persoalan dan kasus kemanusiaan di dunia ini dari level paling sederhana hingga paling kompleks selalu ada sangkut pautnya dengan ‘godaan’ syetan, juga karena kejahatan kemanusiaan akan timbul bukan selalu karena ada niat sang pelaku, namun karena ada kesempatan. Korupsi marak terjadi, tidak akan terus menjadi budaya hingga kini jika pengawasan keuangan secara berkala diawasi dan dijaga sebaik mungkin. Kasus asusila terjadi karena pasti ada penyebab entah dari sang korban atau bahkan pelakunya sendiri, entah karena korban berpakaian seksi, berjalan dengan aura menggoda dan dapat pula karena pure kesalahan sang pelaku yang depresi sehingga mabuk-mabukan dan tanpa sadar memangsa wanita tak berdosa. Begitupun dengan halnya terorisme, kejahatan kemanusiaan itu masih ada hingga kini karena masih ada yang menyebarkan paham itu, bayangkan jika akarnya ditiadakan, takkan berlanjut pulalah kebudayaan-kebudayaan buruk yang tidak semestinya turun-temurun ada ini.Lalu, jika terus begini keadaannya, apakah hukum yang katanya ‘kuat’ di negeri ini masih mampu untuk memberantas kasus kemanusiaan sehingga rakyatnya akan kembali tenang berada di rumah sendiri?ataukah negeri ini akan berpasrah diri saja tergoda bujuk rayu syetan sampai Tuhan memberikan ganjaran setimpal pada manusianya?tidak, yakinlah kasus kemanusiaan akan berkurang atau bahkan hilang seiring kesadaran satu persatu manusia di negeri ini, karena manusia punya akal dan bisa terus berpikir untuk mensugestikan dirinya senantiasa berubah dan mengarungi kehidupan lebih baik dari hari ini. Keimanan manusia layaknya ban yang bisa kempis jika digunakan terus menerus, dan dapat keras kembali jika dipompa, oleh karenanya jawaban atas setiap kecemasan yang mulai hinggap karena  peningkatan kasus kemanusiaan di Indonesia adalah dengan terus memompa iman, ingat kembali akan tujuan penciptaan manusia, tidak seharusnya menciptakan persoalan namun ciptakanlah kebermanfaatan.

Dengan demikian, Indonesia sebagai rumah sendiri bagi rakyatnya memang akhir-akhir ini dibuat cemas akan kasus-kasus kemanusiaan yang marak terjadi.Seakan-akan slogan kemanusiaan yang seharusnya “memanusiakan manusia” berubah maknanya menjadi “menjadikan manusia bukan manusia”.Kekompleks-an persoalan demi persoalan kemanusiaan yang hinggap di bumi pertiwi ini memang semestinya membuat rakyat Indonesia tidak betah berada di Indonesia, namun ingatlah bahwa setiap persoalan timbul sebab manusia itu sendiri dan berakibat pada manusia itu sendiri pula, sehingga solusinya pun berasal dari manusianya sendiri juga, dengan memperkuat rasa keimanan pada Tuhan Yang Maha Esa dan selalu taat hukum akan membuat rasa cemas pada negeri ini akan hilang. karena sejatinya, rumah sendiri itu tempat kedamaian, bukan tempat permasalahan.
Jadikan Indonesia bebas kasus kemanusiaan, karena Indonesia layak tuk terus dipertahankan.
Manusia Indonesia manusia cerdas, yuk sama-sama kasus kemanusiaan kita berantas!

#LOMBAESAIKEMANUSIAAN

Tidak ada komentar: