Senin, 13 Juni 2016

Wajah Sendu Itu


Di bawah temaram hari, aku sendiri, termenung menatap langit.
Lalu, seseorang menghampiri. Degup langkah sudah terasa ketika dia berjalan mendekat. Dengus nafas hangatkan jiwa yang terpaku dalam kesepian.
Datang bersama wajah yang selalu mengingatkanku padanya, wajah sendu dengan rona ketenangan. Senyumnya cegah ku untuk masuk dalam lara.
Wajah sendu itu....

“Hey, Ra. Sedang menatap langit ya?” tanyanya sambil menepuk bahuku.
“Hehe iya nih, Di. Kenapa kau memperhatikanku?” Kubalik bertanya padanya.
“Kenapa kau terus menatap langit walau sedang berbicara denganku? tak bisakah sejenak kau menatap mata penuh harapan ini?” tanyanya balik serius padaku sambil memegang bahukuku erat.
“Lihatlah awan cerah itu, Di. Kau tahu? awan cerah senja hari ini pun sebenarnya sudah menggambarkanmu. Jadi, tanpa harus melihat wajahmu saja, aku sudah sangat bahagia, rinduku terbayarkan” Jawabku dengan penuh ketenangan.

Namanya Ferdi. Lelaki sebaya denganku. Umurnya 17 tahun. Keturunan ningrat.
Dan aku, Fira. Wanita sebaya dengan Ferdi. Umurku 2 bulan lebih muda dari Ferdi. Bukan keturunan ningrat.

“Sayangnya, gelap malam kan tiba, Di. Dan awan cerah di senja hari takkan pernah menghiasi kegelapan malam. Ibarat kau dan aku yang takkan pernah bersatu, sedalam apapun perasaan dalam hati kita, kita takkan pernah bersama.” Kataku merubah aura suasana.
“Cinta itu bukan soal materi Fir, Berubahlah Fir, sampai berapa lama hati ini terus mengadu atas kebahagiaan palsu? Kutahu, kau mencintaiku. Cintailah aku, milikilah aku. Aku mencintaimu apa adanya.” tegas Ferdi lalu membalikan badannya dari hadapanku untuk melengos pergi dan akhirnya menjauh...sampai beberapa waktu, dirinya hanya terlihat sebagai titik saja.
Dari kejauhan...terdengar sayup-sayup perkataannya.
“Ubah pola pikirmu! ketika keapaadaan mencinta telah merasuki jiwamu, kau takkan membuka masalah ini lagi. Cepatlah berubah, kuingin cepat miliki kau dengan sebenar-benarnya memiliki.” Suara itu pun sejenak menggema dan hilang bersama wajah sendunya.

Kini, disini. Di bawah kaki langit senja hari. Ketika mentari sudah hampir tenggelam dan awan cerah mulai hilang. Kuingin kau tahu sesuatu, Di. Tahukau kau?Kita itu memang berbeda, dan aku memang tak bisa bersatu denganmu, diskriminasi keluargamu memberi luka pada keluargaku, aku tak bisa diam saja, aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu. Payah memang, bukan soal sakit hatinya didiskriminasi soal materi, namun cara keluargamu mendatangi orang tuaku sambil mengancamlah yang membuat luka ini menganga. Memang, Di, cinta bukan soal materi, tapi keluargamu yang mempermasalahkan materi dalam cinta kita.

Baiklah, cukup, aku tak ingin mengeluh lagi. Aku menerima keadaan ini. Biarlah aku kembali sendiri, merindu si wajah sendu berbeda kasta.

Awan cerah senja di hari esok, lusa, besok setelah lusa, dua hari setelah lusa, seminggu kemudian, sebulan kemudian, setahun kemudian hingga selamanya kan kuterus tatap dalam pelatarannya.



Setidaknya awan cerah yang menemani senja hari menghilangkan bongkahan rindu ini. Awan cerah senja hari itu ibarat wajah sendumu, Di

Tidak ada komentar: