Di bawah temaram hari, aku sendiri, termenung
menatap langit.
Lalu, seseorang menghampiri. Degup langkah
sudah terasa ketika dia berjalan mendekat. Dengus nafas hangatkan jiwa yang
terpaku dalam kesepian.
Datang bersama wajah yang selalu
mengingatkanku padanya, wajah sendu dengan rona ketenangan. Senyumnya cegah ku
untuk masuk dalam lara.
Wajah sendu itu....
“Hey, Ra. Sedang menatap langit ya?” tanyanya
sambil menepuk bahuku.
“Hehe iya nih, Di. Kenapa kau memperhatikanku?”
Kubalik bertanya padanya.
“Kenapa kau terus menatap langit walau sedang
berbicara denganku? tak bisakah sejenak kau menatap mata penuh harapan ini?”
tanyanya balik serius padaku sambil memegang bahukuku erat.
“Lihatlah awan cerah itu, Di. Kau tahu? awan
cerah senja hari ini pun sebenarnya sudah menggambarkanmu. Jadi, tanpa harus
melihat wajahmu saja, aku sudah sangat bahagia, rinduku terbayarkan” Jawabku
dengan penuh ketenangan.
Namanya Ferdi. Lelaki sebaya denganku.
Umurnya 17 tahun. Keturunan ningrat.
Dan aku, Fira. Wanita sebaya dengan Ferdi.
Umurku 2 bulan lebih muda dari Ferdi. Bukan keturunan ningrat.
“Sayangnya, gelap malam kan tiba, Di. Dan
awan cerah di senja hari takkan pernah menghiasi kegelapan malam. Ibarat kau
dan aku yang takkan pernah bersatu, sedalam apapun perasaan dalam hati kita,
kita takkan pernah bersama.” Kataku merubah aura suasana.
“Cinta itu bukan soal materi Fir, Berubahlah
Fir, sampai berapa lama hati ini terus mengadu atas kebahagiaan palsu? Kutahu,
kau mencintaiku. Cintailah aku, milikilah aku. Aku mencintaimu apa adanya.”
tegas Ferdi lalu membalikan badannya dari hadapanku untuk melengos pergi dan
akhirnya menjauh...sampai beberapa waktu, dirinya hanya terlihat sebagai titik
saja.
Dari kejauhan...terdengar sayup-sayup
perkataannya.
“Ubah pola pikirmu! ketika keapaadaan
mencinta telah merasuki jiwamu, kau takkan membuka masalah ini lagi. Cepatlah
berubah, kuingin cepat miliki kau dengan sebenar-benarnya memiliki.” Suara itu
pun sejenak menggema dan hilang bersama wajah sendunya.
Kini, disini. Di bawah kaki langit senja
hari. Ketika mentari sudah hampir tenggelam dan awan cerah mulai hilang.
Kuingin kau tahu sesuatu, Di. Tahukau kau?Kita itu memang berbeda, dan aku
memang tak bisa bersatu denganmu, diskriminasi keluargamu memberi luka pada
keluargaku, aku tak bisa diam saja, aku memutuskan untuk berhenti mencintaimu.
Payah memang, bukan soal sakit hatinya didiskriminasi soal materi, namun cara
keluargamu mendatangi orang tuaku sambil mengancamlah yang membuat luka ini
menganga. Memang, Di, cinta bukan soal materi, tapi keluargamu yang
mempermasalahkan materi dalam cinta kita.
Baiklah, cukup, aku tak ingin mengeluh lagi.
Aku menerima keadaan ini. Biarlah aku kembali sendiri, merindu si wajah sendu
berbeda kasta.
Awan cerah senja di hari esok, lusa, besok
setelah lusa, dua hari setelah lusa, seminggu kemudian, sebulan kemudian,
setahun kemudian hingga selamanya kan kuterus tatap dalam pelatarannya.
Setidaknya awan cerah yang menemani senja hari
menghilangkan bongkahan rindu ini. Awan cerah senja hari itu ibarat wajah
sendumu, Di
Tidak ada komentar:
Posting Komentar