Sudah kiranya lama saat dimana jasad
bunda pergi dari hadapanku. Sudah kiranya lama pula aku rindu akan segala yang
aku rindukan tentang dirinya, dengan sayangnya yang membelai setiap saat,
cintanya yang menggebu, juangnya hadapi hidup bersama dan senyum nya yang
paling kurindukan, senyum tulusnya.
Semenjak ia hilang, seakan hilang
pula separuh jiwaku, kini setengah jiwaku hilang, remuk, mati bak seakan patah
bersisa setengah. Menunggu belas kasih dari ibunda yang lain yang siap
menggantikan bunda yang baru dua minggu pergi itu. Namun tiada hal yang paling
bodoh sampai bisa aku memikirkan hal itu, padahal umurku sudah akan genap
mencapai kepala 3.
Aku hanya mengenal dia selama aku
hidup, satu sosok perempuan yang begitu mencintaiku, tiada yang lain. Kau tanya
simpanan?apa lagi, hanya akal busuk ku yang mungkin memikirkan perkara bodoh
itu. Membuang dan menyia-nyiakan waktu tepatnya. Benar, aku hanya punya 1
perempuan, hanya ibu yang mencintaiku, dan aku pun mencintainya. Dan kini Tuhan
ambil dia.
Kau
tahu ketika senja tiba?
Kau
tahu tepat waktunya tiba?
Dimana
waktu itu yang paling berat untuk ditinggalkan
Dimana
aku berdiri dalam terpaan angin sore
Dingin!
Mencekam
diri.
Bulir peluh, penyesalan, kekecewaan
terus mengalir dari simfoni hati, baru kali ini aku melihat lelaki berusia
genap 30 tahun mengeluarkan air mata tak henti, manja bodoh tidak karuan aku
definisikan. Namun pada kenyataannya yang aku lihat itu adalah diriku, ya
diriku sendiri. Lewat kaca yang memantulkan perwatakan dan rupa juga badan yang
berproporsi sama, jenggot dan kumis yang sudah bisa dibilangnya meradang dan
memang itulah aku. Lelaki dewasa yang kini kekanak-kanakan, menangis manja
seperti ingin diberi upah.
Turut
berduka cita Pak. Semoga amal ibadah ibunda diterima di sisi terbaik Tuhan.
Saya
ikut belasungkawa ya Pak.
Saya
ga percaya ibunda Bapak akan pergi secepat ini, semoga bapak diberi kekuatan.
Aamiin.
Dan
pesan diterima lain-
Empati yang memenuhi kontak pesan telepon genggamku,
terus bermunculan. Seperti halnya jati menggugurkan daunnya untuk menyesuaikan
diri. Wajar sekali keadaan itu aku rasakan, orang yang ditinggalkan harta
satu-satunya hidup. Ibu satu-satu nya hidupku, segala tentangnya akan
bersemayam terus bukan sekarang saja tapi esok, hari setelah hari esok, dua
hari setelah hari esok dan selamanya.
Mencekam
diri!
Berjalan
dalam nuansa keheningan...
Tenggelamlah
dalam suasana yang cukup disadari
Pergi
lah panjangnya hari siang
Tiba
lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
“Assalamualaikum.” Suara wanita dari balik pintu menghilangkan
tetes-tetes air mata yang tak bisa aku hentikan, walau nyatanya masih terlihat
sembab, namun setidaknya aku tidak mau dibilang ‘lelaki dewasa cengeng’.
“Waalaikumsalam.” Jawab ku menuju pintu,
membalas salam nya dengan masih terbayangkan wajah dan kasih ibundaku.
“Mas Robi, aku turut berduka, aku
tidak menyangka hal ini begitu cepat terjadi.” Kata wanita itu dengan nada
suara penuh keharuan padaku.
“Aku sudah menganggap ibu, sebagai
ibuku sendiri. Ia orang baik dan pastinya akan masuk syurga kekal Nya.” Lanjut
omongannya lagi sambil memeluk ku dengan keharuan mendalam.
“Iya Zainab, aku menyesal!” seru ku
lalu melepaskan pelukannya dan kembali masuk ke dalam rumah sambil menggebruk
pintu.
Zainab masih terpekur di depan
pintu, dalam lamunannya ia mengingat kembali ucapan bunda lelaki itu “Zainab,
kau adalah wanita baik, oleh karena itu kau pantas mendapatkan anaku, dia juga
lelaki baik. Insya Allah. Cintai dia, jaga dia lalu jadikan dia imam yang dapat
diteladani anak-anakmu kelak” perkataan itu masih mendengung tajam di balik
telinga Zainab.
Ia pun kembali ke rumah nya yang
bisa disebut gedong dan menjentawahkan segala rasa yang dialaminya, menangis
akan pengharapan pongah hati nya yang sepertinya tak terbalaskan.
Cintaku
akan kujadikan seperti layaknya kuku, kalau digunting akan hilang. Sama hal nya
seperti rasa ini yang tak terbalaskan, akan hilang. Namun dalam waktu dekat
mungkin akan tumbuh lagi. Dan aku akan memanjangkannya dengan segala kesabaran
yang ku punya, jika suatu hari dia masih tak membalas cintaku, itu artinya aku
akan menggunting lagi kuku ku, lalu akan tumbuh lagi dan akan begitu
seterusnya. Sampai aku mendapat imam terbaik dari takdir Tuhan padaku.
Catatannya mengakhiri cerita cinta
Zainab.
“Jika ada alat yang mampu mengulang
waktu, aku ingin membeli alat itu!” keras tekad sang lelaki berkata.
“Semahal apapun harganya, asal bunda
menemani hari-hari ku lagi...”
Mengucur lagi air mata sang lelaki,
berharap dan bermimpi layaknya orang kurang waras kini. Tak ada yang mampu
membalaskan cinta ibu, selain mengulang kembali waktu dan melakukan hal sebaik
mungkin padanya.
Tiba
lah sore dan malam yang penuh kesuntukan!
Dimana
malam itu seperti perapian kegelapan yang panjang.
Sunyi
Hening
Pohon-pohon
berdiri kaku
Gedung-gedung
tinggi perkotaan tidak jelas terlihat
Keduniawaian
seakan tak terpikirkan orang-orang kala itu
Hanya
harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati
Hati sang lelaki kini bukan seperti
dulu, air mata sang lelaki pun bukan seperti dulu, keadaan sang lelaki kini pun
bukan seperti dulu.
Dulu...baja bisa diibaratkan hati
sang lelaki, seberat apapun hati terbentur takkan sampai hatinya bersedih
seperti ini, namun payahlah kini dan bisa disebut seperti kertas.
Dulu...besi bisa diibaratkan air
mata sang lelaki, sesering apapun hal buruk menimpa dirinya takkan ada air
mata, namun manjalah kini air mata tak pantas itu dan bisa disebut bayi.
Dulu...tiang bisa diibaratkan
keadaannya, sekeras apapun tiang ditabrak takkan roboh, namun berbedalah kini,
seperti diserang batu 100 kali kepalan tangan dan akhirnya robohlah tiang itu. Dan keadaan
sekarang ini bisa disebut air sungai. Yang pasrah mau dibawa kemana saja oleh
arus yang begitu hebat berjalan.
Takkan ada ruang hati untuk siapapun
wanita yang mencintaiku kini. Ibu hanya ibu yang mengisi setengah jiwa yang
tersisa.
Betapa bodohnya aku ketika tepatnya
hari lahir ibu tiba, setiap 10 Januari. Aku masih berkutat dengan pekerjaan
kantorku yang menumpuk dan tak menyisakan celah-celah kejutan hari spesial
ibu.Padahal ibu selalu memeriahkan hari ulang tahunku semasa kanak-kanak dengan
semacam pesta. Apa balasanku.
Betapa pandirnya aku ketika
suruhannya untuk sarapan pagi sebelum berangkat kerja kuacuhkan begitu saja.
Kepedulianku terhadap kesehatan ibu pun tak ada. Padahal ibu selalu masuk ke
kamarku tiap pagi untuk membangunkan aku semasa sekolah dan masuk lagi ke
kamarku setiap malam untuk menina bobokan aku. Apa balasanku.
Betapa tidak warasanya aku ketika
satu waktu dimana itu hari aku merayakan hubungan tahunanku dengan seorang
perempuan cantik pujaanku di suatu cafe. Ketika
itu pula ibu sedang sakit-sakitan dan menelponku untuk segera pulang dan
membelikan obat untuk ibu, tapi aku malah mematikan handponeku dan mengatakan kepada pujaanku “Cuma nomor salah
sambung”.
Betapa, betapa, betapa tak tahu
dirinya aku ketika hari itu, aku selesai masa kuliah dan jadi sarjana. Saat
pemberian toga, ibu yang sedang
sakit-sakitan masih rela datang dia acara bahagiaku dan langsung memelukku di
tengah-tengah keriuhan teman-temanku lain yang sama halnya bahagia, namun aku
malah mendorongnya dan mengatakan “SIAPA KAMU? AKU TIDAK PUNYA IBU SEPERTIMU”
Hujatlah aku, ejeklah aku, cacilah
aku, bahkan bunuhlah aku jikalau itu semua bisa membuat keadaan yang telah
lewat dimana aku bisa merubah kedurhakaanku padanya menjadi hormat dan
meyayangi dirinya. Namun bisakah?
Hanya
harap-harap sinar bintang mengawasi malam panjang yang mati.
Tak
bersua remang-remang cahaya bintang
Tak
terlihat sinar benderang cahaya bulan
Tak
jua terasa indahnya kunang-kunang
Hanya
kegetiran malam yang tersisa
Semua
mengutukku dalam kegelapan
Hujan
pun menambah kutukanku malam itu.
Bahkan...bisakah kamu menyebutku
orang yang lebih baik dari pada kata ‘bodoh’, ‘pandir’, ‘tidak waras’,’tak tahu
diri’ ketika kamu mengetahui sebab wafatnya ibu. Ketika itu masih pagi aku
pergi dengan baju bersih, namun di perjalanan ketika aku telah dekat menuju
kantor, ada mobil yang menderu kencang berkendara, akhirnya baju kantorku basah
dan kotor karena keciparatan air kotor di genangan oleh mobil itu. Mendenguslah
aku dan pulang, disana terlihat ibu yang sedang membaringkan kerontaannya di
kamar tua nya.
“Cucikan baju ini, sepulang nanti
aku ingin sudah kering”
Dengan sisa daya kekuatan, ibu
mencuci baju ku dengan tangannya yang sudah keriput, binar-binar harap siang
panas tenyata meleset, siang itu hujan. Lebat, malah lebih lebat dari hujan
biasanya. Akhirnya baju kotor ynag telah dicuci itu pun tak kering.
Ketika aku pulang dan melihat baju
itu dalam keadaan basah, emosiku naik dan membawa ibu yang telah pucat pasi wajahnya
ke luar, malam gelap dan hujan, disana
aku suruh ibu merasakan dinginnya jika air menyelungkupi tubuhnya. Tujuannya
agar dia tahu bagaimana rasanya jika baju basah yang dicucinya dikenakan aku
dalam keadaan basah. Dingin bukan!
5 menit badannya terlihat
kedinginan.
10 menit badannya sudah terlihat
menggigil hebat.
15 menit...Tersungkur lah ia.
Hujan jadi saksi berhentinya denyut
nadi ibu atas dasar kedurhakaanku.
Hujan
pun menambah kutukanku malam itu.
Namun
beberapa saat kemudian
Binar-binar
aura cahaya muncul untuk menerangi malam gelap itu
Cahayanya
berdiaroma ke wujud seseorang
ITU
IBU
Aku
menangis tak karuan
Melelehkan
bajanya hatiku
Merasakan
cinta haqiqi ibu di gelap itu
Ku
sentuh cahaya itu
Namun
aku tak mendapatkannya
Ku
peluk sosok itu
Namun
aku tak mendapatkannya
Ternyata
isi sajak ini hanya khayalku
Ibu...
Maafkan
anakmu yang hina ini
Meski
kau telah pergi
Khayalku
yang penuh gelap
Kau
masih datang menemaniku dengan sentuhan cahaya
Di
saat semua mengutukku
Kau
masih menemaniku
Ibu...
Sekali
lagi maafkan anakmu ini yang telah durhaka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar