“Bersedia,
siap, mulai…!”
Aku mulai berlari secepat mungkin
bersama dengan peserta lainnya kini, si nomor punggung 10 memimpin ya itulah
aku. “Hu..Hu..Ha..Ha..!” helaan nafas seakan hilang tertelan akan kilatnya
lariku, nadiku kian bergerak semakin dan semakin cepat terlebih ketika garis
ujung mimpi yang telah kudambakan kan tercapai, kulebarkan kaki bersama 3
lompatan kebahagiaan.
“Ayo Dun… kamu pasti bisa….” Ucapku
dalam hati. 1..2..3..Fin…! Tiba – tiba…
“Duuun…Bantu emak nak, timba air ke
sumur emangmu…Persediaan air kita telah habis, cepat nak !” Suara yang semakin
lama semakin mengernyap itu benar – benar mengganggu gendang telingaku bak kutu
yang sedang beroperasi menggigit santapan lezatnya. Inginnya kedua telinga ini
kusumbat dengan kapas tebal berlapis 7, tetapi rasa itu sirna ketika…
“Byuuur…” Air dingin penghumbat
pengat yang kukira bersuhu dibawah 0 derajat itu membasahi seluruh bagian tubuh
ramping nan pendek tak terurus ini. Kulitku yang kusam kering juga rambut
kecoklatan akibat sering terlalap panas matahari ikut merasakan dinginnya air
yang baunya mulai menusuk hidung, huh.. tidak lain dan tidak bukan itu pasti
air got yang diambil dari depan rumahku. “Heh , dasar ! Anak tidak tahu
diuntung, Jam 12 masih bisa berbaring malas di atas ranjang !” Teriaknya bernada
keras diliputi emosi tinggi.
Oh..itu dia si wanita separuh baya
yang sekarang menyandang 2 peran dalam hidupku sebagai ibu juga ayah.
Entahlah sosok lelaki pendamping emak kini telah tiada, ia telah meninggalkanku
12 tahun silam tepat di saat aku lahir 10 Oktober tahun 2000. ‘Emak’
sebutanku padanya, Nama aslinya adalah ‘Jamilah’ badannya yang lebar
bergumpal lemak kukira tlah sulit diboyong tuk lebih lama lagi. Sorot matanya
yg tajam memandangku dengan penuh kesal karena masih saja menumpukan badan diatas
ranjang. Bibirnya yang dilumuri gincu tak karuan membuahkan sumpah serapah yang
tak asing terngiang, rasanya aku tlah kebal dengan semua itu. “Dasar anak
malas, tidak tahu diuntung, anak penghilang rezeki ! Emak capek Dun, tegakah
kau melihat emak menghabiskan sisa umur emak dengan marah – marah seperti ini ?
Tega nian kau ini “
Kata – kata memelas yang dilontarkan
emak membuatku menyesali segala perbuatan burukku, sempat kuteteskan air
mata dibawah bantal, seakan tak kuat mengingat dosa – dosa besarku padanya. Aku
tlah berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini sampai kedepannya aku akan
berubah. Berubah untuk emak …
“Huaaah, Selamat pagi Dunia dan selamat pagi
emakku… ” Inilah awal perubahanku. Aku mulai beranjak berdiri tegak dari
ranjang reyot tua berwarna merah tua itu, kuambil langkah kecil menuju emak.
Dihadapannya kujinjitkan kedua kakikku maklum tinggi badan yang kupunya dibawah
rata – rata anak seusiaku dan akhirnya kening wanita baya yang telah mengernyit
itu kucium. Walau aku tidak memiliki tinggi yang sepadan dengan anak seusiaku
aku tetap bersyukur karena aku masih bangga memiliki kedua kaki
berotot kuat yang mampu menempuh puluhan kilometer.Lalu, kurapihkan
sarung kusam yang selau setia menutupi tubuhku dari rasa dingin yang kian
menyergap.
Mulut emak kini membulat tepat membentuk huruf
O, seakan kagum atas perubahanku sesekali air mata kebahagiaan menetes ke tanah
yang menjadi pijakan rumahku.
“Sudahlah mak, jangan sedih begitu…Sekarang Pardun ganti baju dulu ya nanti
langsung ke sumur emang…” Senyum emak kini melebar, dia menghentikan langkahku
untuk membalas ciuman yang penuh rasa
sayang.
Namaku Pardun, dalam 6 untaian huruf pemberian orang yang kucinta itu ternyata
memiliki arti. Kata emak namaku kesepakatan para tetangga 12 tahun
lalu. Par= Parit Dun=barDun, jadi sewaktu emak mules berat sontak para
tetangga hiruk pikuk berdatangan ingin membantu emak ke dukun beranak. Karena
keadaan ekonomi para tetangga yang sama – sama rendah tidak ada seorangpun yg
memiliki kendaraan , tanpa fikir panjang emak dituntun ke dukun beranak yang
jauhnya hampir 2 km, barulah ½ perjalanan kekuatan emak untuk menahan dorongan
jabang bayi raib sudah. Akhirnya aku terlahir tepat terlempar ke parit depan
rumah Ust. Bardun .
Sambil memanggul 2 ember besar berwarna hitam yang belum terisi aku berlari
semangat dengan hitungan teratur “tu,wa,tu,wa…” Sepanjang perjalanan aku
berusaha mengumpulkan semangat membara seperti mesin diesel yang menggerakan
truk karena pasti energiku terkuras dengan jarak yang harus kutempuh
untuk sampai di rumah emang sejauh 3 km.
“Huh…Assalamualaikum
mang..” Ucap ku lemas sambil mengetuk pintu kayu rumah emang yang hampir lepas
termakan rayap. “Waalaikumsalam..eh kamu Dun. Walah, cape ya ? keringatnya
sampai membanjir begitu..Emang bawakan air ya?” tawar si emang. “Ehmmm.. tidak
usah deh mang. Pardun harus bergegas timba air, emak tlah menunggu di rumah”
Jelasku pada emang. “Oh yasudah. Laga – laganya punya rumah bukannya gubuk yaa?
Hahaha”Bicara emang menyindir padaku.
Spontan kubalikan badan melepas
pandangan ku pada emang, kuangkat lagi dua ember kosong ke sumur yang dalamnya
10 m tanpa berkata sepatah kata pun pada emang. Itu merupakan sindiran
paling menyakitkan dari mulut nakal Emang, suatu saat nanti aku akan
membuktikan bahwa tempat pijakan aku bersama emak layak dipanggil rumah.
dalamnya 10 mgn badan melepas pandangan ku pada emang, kuangkat lagi dua ember
kumuh kosong ke sumur tanpa berkata sepatSedikit demi sedikit ku tarik tali
penimba air terus dan terus kuulangi gerakan itu hingga tarikan pamungkas
.
“Alhamdulillah , akhirnya penuh juga…” Tak
lama, suara aneh mengusik gendang telingaku, seperti suara seretan tubuh
manusia dengan jalanan yang kasar. Semakin lama suara itu kian membising dan…
“Aaaaaa...” Jeritku ketika kurasa tangan yang begitu kasar memegang erat betis
berototku dengan penuh kekuatan. Kuberanikan diri menoleh ke arah belakang.
“Cuuu,..Airnya cu..haus cuu…” rintih kakek yang baru saja membikin
copot jantungku. “Astagfirullah , kakek…Ini airnya (aku
memberikan air hasil jerih payahku tadi). Kek, mengapa sekujur tubuh kakek
dipenuhi darah begini? Apa yang telah terjadi kek ?” Tanyaku iba padanya. “Sudahlah
cuuu….Jangan difikirkan (glekglekglek…) Alhamdulillah cuuu,
terimakasih atas pertolonganmu, sungguh engkau anak yang benar – benar baik.
Suatu hari nanti mimpi mu akan berubah menjadi kenyataan aku YAKIN …” ucap
kakek itu.
Aku tak mengerti atas
apa yang ia katakan, karena aku masih terfokus pada darah yang terus mengalir
di sekujur tubuhnya. Tak jarang aku teteskan air mata, rasa iba ku menggelayut
tajam .
“Kek tunggu ya..” Kakek itu tidak
menjawab perkataanku, bergegas ku lari menuju rumah Emang untuk meminjam lap
pengering luka kakek. “Hoshoshos..” Dera nafasku memburu saat tiba di rumah
emang. Kebetulan emang sedang duduk santai di kursi luar rumahnya berwarna
coklat . “Nah loh, kenapa kamu Dun?” kata emang keheranan. “Emmm, anu itu anu
mang itu.. emm, lap, lap mana?” Jawabku gelagapan. “ Yeh si Pardun, itu
dibawahmu apa ?” Kata emang sedikit kesal. “Eh iya, hehe^^….Pardun pergi lagi
ya mang, Assalamualaikum..” Ujar ku seraya mencium tengan emang. “Aduh anak itu
…!” Gumam emang sembari memasuki rumah mini nya. Saat ku tiba di depan sumur,
keadaan sedikit berubah . “Kek…Pardun datang bawa lapnya….Nah e..nah loh? Mana
dia? Tadikan disini ?“ keadaan telah berbeda, kakek menghilang… “Loh..loh
bagaimana dia bisa pergi dengan luka separah itu dan kenapa embernya bisa penuh
lagi, tak mungkin kakek yang menimbanya. Tadi kan tersisa setengah
lagi…aaaaaaaaa,..Emaaaaaak waaaaaaaa!” Kutinggalkan sumur emang dengan masih
menyisakan sebuah MISTERI. Sesampai di rumah, kuletakan 2 ember berisi air dan
langsung susuri setapak ruangan menuju kamarku yang sempit penuh debu.
Kuhempaskan segala keresahan dengan meregangkan badan di ranjang reyot tua ku.
Baru terasa ada sesuatu yang menyelip di dalam kepalan tenganku.
“Apa
ini..?” Tanyaku dalam hati, kubuka lembaran itu. Ternyata lembaran pertama
berisi…
LOMBA
LARI 7 KM Se-PROVINSI JAWA BARAT
Ass.
Wr. Wb.. Ayo ayo, untuk anak – anak usia minimal 7 tahun dan maksimal 12 tahun
gabung yuk di lomba ini. Akan dilaksanakan pada :
Hari
: Jum’at
Tanggal
: 10 Okt’ 2012
Tempat
: Lap. Padjadjaran Bdg
Dijamin
ga rugi karena bagi yang menang dapatkan :
Juara
1 : Rp.20.000.000,00
Juara
2 : Rp.15.000.000,00
Juara
3 : Rp. 10.000.000,00 + Piagam + Trophy .Terbuka untuk umum.
Terimakasih. Wass. Wr.Wb
Aku tercengang seakan takjub
melihat nominal angka yang tlah berbaris rapi itu, bahkan karena terlalu banyak
aku keteteran tidak bisa menghitungnya. Maklum aku tlah putus sekolah
seharusnya kini aku tlah injak bangku tertinggi di tingkat Sekolah Dasar. Tapi
tak apa mungkin nasib sedang tidak berpihak padaku. Kuteruskan untuk membuka
lembaran ke dua yang berisi formulir pendaftarannya….Terlintas dalam benakku
untuk mencoba mengikuti lomba yang tergolong elite itu, tapi
rasa pesimis menghujam diriku.
PENDAFTARAN
LOMBA LARI 7 KM
Kode
: 1234***
Nama :
Umur :
TTL :
Alamat
Rumah :
Nama
Orang Tua :
DIKIRIM
KE
PO.BOX
L.L.J.B
1234 Pengalaman lomba : Alamat
“Alah…Mana
mungkin sih, seorang bocah lusuh sepertiku mengikuti lomba itu. Tahap seleksi
mungkin langsung kalah. Menang? Mimpi doang”
Jam dinding berwarna
kuning keemasan yang masih tertempel di kamar bercat abstrak itu merupakan
warisan leluhur ku. Itu merupakan satu – satunya barang berharga di
rumahku. Jarum pendek menunujukan ke angka 17.00, kuhamparkan sajadah
hijau yang tlah robek itu ke arah kiblat. Kulaksanakan solat ashar dengan penuh
khidmat.
Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Bulan September tlah berakhir. Hari ini
tepat di tanggal seorang PNS menerima gaji, 1 Oktober 2012. Tak sengaja mataku
mengarah menuju lembaran mengenai lomba lari 7 KM yang sewaktu itu pernah
kubaca, kucoba tuk berfikir berulang kali dan akhirnya tanganku tergerak
mengisi formulir tersebut. Mulai dari Nama lengkap hingga alamat rumah ku yang
hanya prakiraan saja.
Kuletakan
formulir tersebut ke atas meja kayu yang sering kupakai untuk belajar dengan
perasaan acuh. Lalu aku keluar rumah sekedar mencari angin sekaligus
mencari kerja, bila bernasib baik biasanya ada yang menawariku kerja jika tidak
apapun bisa kukerjakan entah memmanggul barang di pasar atau sebagainya.
≍ © ≍
Semburat matahari mulai
muncul menenggelamkan kegelapan dunia semalam tadi. “Huaaaaa….” 3 hari tlah
berlalu setelah kuisi formulir tersebut, rencana nya aku ingin menengok lagi
formulir tersebut sekedar membacanya saja . Tapi… “Nah loh……Kok gaada ya itu
lembaran formulirnya, kemanaaaaa? Oh tidak ..!” “Emaaak, lihat formulir
tidakkk..?” Aku berteriak menanyakan keberadaan formulir itu tanpa tahu dimana
emak. Kucari ke setiap penjuru rumah dari belakang hingga ke depan rumah , saat
di depan rumah terdengar suara yang sangat asing di telingaku .
“Pos..Pos..Pos..Pos..!!!” Sepucuk surat yang dilempar bapak tua berkendaraan
motor bebek itu melayang persis mengenai wajahku. “Aduuuh, sakit…Ga biasanya
tukang pos masuk perkampungan yang kumuh dan sempit begini. Apa ya isi
suratnya ??? heu…apa jangan – jangan..” karena takut akan isi suratnya, aku
memanggil teman karibku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku, aku ingin dia
membantuku membuka surat ini. Parjo namanya. “Jooo…Parjoo…!” Panggilku ke rumah
mirip gubuk rumahku namun sedikit lebih layak. “Lhooo…Ono opo to…?” Jawabnya
berkhas medok. “ Ini tadi tukang pos ngasih surat ini, aku takut ada apa – apa
bantuin dong , kita buka bersama – sama yaaa…” “Aduh kamu ya Dun …. Katrok deh,
suratnya rata mana mungkin to isinya bom atau semacam yang berbahaya, huuu
Poko’e aman dweh “ “Ya, tapi aku tetep takut Joooo…Buka sama – sama
yuk…?”Tanyaku ragu. “E..e..uu…Kulo ora yakin…hehehe J “Jawabnya membuatku naik
darah. “Beubeubeuh…Yasudah kita buka sama – sama yaa…” Aku dan Parjo membuka
surat itu sambil menutup mata, orang – orang yang lalu lalang dihadapan kami,
seakan ikut gelisah juga, akhirnya surat itu menjadi pusat perhatian
banyak orang. Segelintir orang mengelilingi aku dan Parjo bahkan Bapak Kepala
Desa setempat yang mengetahui hal yang menggelisahkan itu datang ke lokasi.
“1..2..3…terbuka…” Hitung ku bersama parjo, perlahan ke dua mata kami terbuka .
Ternyata isi suratnya hanyalah sebuah kertas yang mengatakan …
SELAMAT
PARDUN…ANDA LULUS TAHAP SELEKSI ! BERJUANG UNTUK LOMBA …. !
“Yeeee,
horee…” Baru tersadar, ternyata orang – orang memadati tempat aku dan Parjo,
mereka bersorak sorai membuat aku kaget, bahagia juga heran. Perasaanku campur
aduk dan senang bukan main… J “Terimakasih semuaa, Pardun akan berjuang dan takkan
mengecewakan kalian..!” Semua warga menyalami ku termasuk Bapak Kepala Desa ,
sedangkan Parjo memeluk eratku dan berjanji membantuku menggapai kemenangan
nantinya. Saat itu aku merasakan seperti bintang tersohor .
9 Hari lagi lomba terlaksana,
Parjo mulai saat itu semangat menemaniku untuk berlatih, di hari pertama
latihan Parjo menunjukan sesuatu kepadaku . “Kamu udah siap to Dun, iki to kulo
diberi kakek tua barang ini..” “Kakek tua..?Apa itu si kakek misteri itu?”
Lamunku dalam hati “Eh…!Huss..Ojo lamune …iki opo yo?” “Itu namanya Stopwatch
Gunanya untuk menghitung seberapa cepat orang melakukan sesuatu, misalnya
berlari..Aku pernah belajar itu dulu saat masih sekolah” “Ahaa, pas to
Dun…Sampeyan mau latihan lari kan ? Pake ini saja biar dari hari ke hari
terlatih matang..” “Oalah, baru terfikir. Cakap mu bagus Jo..”
8 hari
berturut – turut aku dan Parjo lalui bersama, esok tantangan harus kuhadang.
Semalam sebelum hari H aku baru terfikir “Siapa pengirim formulirnya? Tanpanya
tak mungkin aku bisa mengikuti lomba ini..?” Pertanyaan itu menggerogoti
malam suntuku.
10 Oktober tiba, Si Jalu jam hebat ciptaan Tuhan Yang Maha kuasa bersuara.
“Kukuruyuuuk….” Fajar tlah tiba, mata sayu ku melihat buraman seorang wanita
baya dihadapanku. Dirinya langsung berkata … “ Selamat Ulang tahun anakku..Kini
usiamu semakin bertambah 1 tahun, hanya satu hadiah yang bisa kuberikan padamu
anandaku..” “Terimakasih untuk ucapannya Emakku, memangnya apa? Aku tak butuh
hadiah apapun darimu..Cukuplah kasih sayang yang telah kau beri padaku” “Emak
mau mengakui bahwa pengirim formulir itu adalah Emak sendiri. Emak mau kamu
berjuang keras saat lomba, Emak mendoakanmu anakku..”
Hanya satu kata dariku untuk Emak “TERIMAKASIH” . Air mataku tak bisa kutahan ,
tetes demi tetes melumuri suasana yang penuh haru itu. Jam 09.00 Lomba lari
dimulai, aku tlah tiba di Lapangan Padjajaran Bandung kurang dari Jam 09.00.
Kupandangi banyaknya peserta lomba , tapi rasa pesimis tlah hilang dari dalam
diriku. Aku OPTIMIS bisa mendapat Juara walau hanya menggunakan Kaus Oblong dan
sepatu rusak yang telah mangap. ‘10’ adalah nomor pesertaku sekaligus menjadi
nomor kebanggaan ku untuk hari ini, sekarang aku tlah siap untuk memulai
tantangan ini bersama dengan ribuan perserta lainnya, aku berada di 2 m sebelum
garis start. “Bersedia Siap Mulai…..!!” Lari 7 KM se Jawa Barat
dimulai, inilah mimpiku yang menjadi kenyataan yang sungguh tak bisa dipercaya
. terlintas kata – kata dari Kakek misteri yang sempat kutemui sewaktu itu, dan
itu benar – benar membuatku menjadi semakin OPTIMIS menghadang tantangan hari
ini. Kini, si nomor 10 memimpin dan itu AKU …. “Yeee…” Sorak sorai
penonton tertuju padaku, si Juara lomba nomor 10, aku tergeletak lemas seakan tak
percaya. Deru terompet di panggung menyambutku penuh bahagia.
Sujud
syukur langsung ku lakukan, untuk berterimakasih kepada Allah S.W.T atas
kesuksesan lomba hari ini. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama
ketika… “Pardun…! Gawat….” Teriak Parjo gelisah bersama air mata yang membanjir
wajahnya itu, dia lari hendak mendekati panggung . “Ada apa Jo..?” Tanyaku yang
juga gelisah . “Emakmu MENINGGAL,,,” Jawabnya.
Suasana itu berubah menjadi haru, penonton pun ikut menaruh keharuan . Entahlah
matahari dalam jiwa ku seakan ikut berubah menjadi muram, aku seperti dihantam
bom besar . Perasaanku campur aduk . Aku bergegas lari menuju rumah sambil
membawa piala sebagai pembuktianku pada emak.. Kutatap wajah pucat si
emak “Emak,,, Pardun Juara 1 mak,,, bangun mak..Lihat anak kesayanganmu
mendapat Juara mak…huhuhuhu…” tangisku seraya menyodorkan piala ke hadapan emak
yang telah terkulai tak berdaya. Ya aku tahu nasi telah menjadi bubur , tak ada
yang bisa kulakukan lagi. “Inalillahi Wa inailaihi Rojiun..” Ucap semua orang
yang mengelilingi jasad orang yang kucinta.
Aku baru ingat akan kata – kata kakek tua bahwa mimpiku akan menjadi kenyataan,
ya mungkin ini maksudnya walau aku harus melepaskan orang yang kucinta,
setidaknya aku telah menunjukan pada semua orang bahwa mimpi tak boleh
disepelekan, lihatlah aku si bocah lusuh yang hanya bermodalkan sebuah mimpi
tetapi bisa mengubah itu menjadi kenyataan tentu bersama kerja keras juga doa
orang – orang tercinta. “Dan kini aku berjanji akan mengejar mimpi –
mimpiku yang lain demi emak juga demi semua orang yang telah
mendukungku, Karena aku Si PENGEJAR MIMPI…. ”
SALAM
PENGEJAR MIMPI ……^___^…..
Kejarlah mimpi –
mimpimu kawan…..Yakinlah bahwa MIMPI bukan sebatas angan – angan tapi bisa
menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar