Minggu, 21 Desember 2014

Sang Pengejar Mimpi

            “Bersedia, siap, mulai…!”

            Aku mulai berlari secepat mungkin bersama dengan peserta lainnya kini, si nomor punggung 10 memimpin ya itulah aku. “Hu..Hu..Ha..Ha..!” helaan nafas seakan hilang tertelan akan kilatnya lariku, nadiku kian bergerak semakin dan semakin cepat terlebih ketika garis ujung mimpi yang telah kudambakan kan tercapai, kulebarkan kaki bersama 3 lompatan kebahagiaan.

            “Ayo Dun… kamu pasti bisa….” Ucapku dalam hati. 1..2..3..Fin…! Tiba – tiba…

            “Duuun…Bantu emak nak, timba air ke sumur emangmu…Persediaan air kita telah habis, cepat nak !” Suara yang semakin lama semakin mengernyap itu benar – benar mengganggu gendang telingaku bak kutu yang sedang beroperasi menggigit santapan lezatnya. Inginnya kedua telinga ini kusumbat dengan kapas tebal berlapis 7, tetapi rasa itu sirna ketika…

            “Byuuur…” Air dingin penghumbat pengat yang kukira bersuhu dibawah 0 derajat itu membasahi seluruh bagian tubuh ramping nan pendek tak terurus ini. Kulitku yang kusam kering juga rambut kecoklatan akibat sering terlalap panas matahari ikut merasakan dinginnya air yang baunya mulai menusuk hidung, huh.. tidak lain dan tidak bukan itu pasti air got yang diambil dari depan rumahku. “Heh , dasar ! Anak tidak tahu diuntung, Jam 12 masih bisa berbaring malas di atas ranjang !” Teriaknya bernada keras diliputi emosi tinggi.

            Oh..itu dia si wanita separuh baya yang sekarang menyandang 2 peran dalam hidupku sebagai ibu  juga ayah. Entahlah sosok lelaki pendamping emak kini telah tiada, ia telah meninggalkanku 12  tahun silam tepat di saat aku lahir 10 Oktober tahun 2000. ‘Emak’ sebutanku padanya, Nama aslinya adalah ‘Jamilah’ badannya yang  lebar bergumpal lemak kukira tlah sulit diboyong tuk lebih lama lagi. Sorot matanya yg tajam memandangku dengan penuh kesal karena masih saja menumpukan badan diatas ranjang. Bibirnya yang dilumuri gincu tak karuan membuahkan sumpah serapah yang tak asing terngiang, rasanya aku tlah kebal dengan semua itu. “Dasar anak malas, tidak tahu diuntung, anak penghilang rezeki ! Emak capek Dun, tegakah kau melihat emak menghabiskan sisa umur emak dengan marah – marah seperti ini ? Tega nian kau ini “            

            Kata – kata memelas yang dilontarkan emak  membuatku menyesali segala perbuatan burukku, sempat kuteteskan air mata dibawah bantal, seakan tak kuat mengingat dosa – dosa besarku padanya. Aku tlah berjanji pada diriku sendiri bahwa hari ini sampai kedepannya aku akan berubah. Berubah untuk emak …
 “Huaaah, Selamat pagi Dunia dan selamat pagi emakku… ” Inilah awal perubahanku. Aku mulai beranjak berdiri tegak dari ranjang reyot tua berwarna merah tua itu, kuambil langkah kecil menuju emak. Dihadapannya kujinjitkan kedua kakikku maklum tinggi badan yang kupunya dibawah rata – rata anak seusiaku dan akhirnya kening wanita baya yang telah mengernyit itu kucium. Walau aku tidak memiliki tinggi yang sepadan dengan anak seusiaku aku tetap bersyukur  karena aku masih bangga memiliki kedua kaki berotot  kuat yang mampu menempuh puluhan kilometer.Lalu, kurapihkan sarung kusam yang selau setia menutupi tubuhku dari rasa dingin yang kian menyergap.            
             Mulut emak kini membulat tepat membentuk huruf O, seakan kagum atas perubahanku sesekali air mata kebahagiaan menetes ke tanah yang menjadi pijakan rumahku.                
            “Sudahlah mak, jangan sedih begitu…Sekarang Pardun ganti baju dulu ya nanti langsung ke sumur emang…” Senyum emak kini melebar, dia menghentikan langkahku untuk membalas ciuman yang  penuh rasa sayang.           
            Namaku Pardun, dalam 6 untaian huruf pemberian orang yang kucinta itu ternyata memiliki arti. Kata emak namaku kesepakatan  para tetangga 12 tahun lalu. Par= Parit  Dun=barDun, jadi sewaktu emak mules berat sontak para tetangga hiruk pikuk berdatangan ingin membantu emak ke dukun beranak. Karena keadaan ekonomi para tetangga yang sama – sama rendah tidak ada seorangpun yg memiliki kendaraan , tanpa fikir panjang emak dituntun ke dukun beranak yang jauhnya hampir 2 km, barulah ½ perjalanan kekuatan emak untuk menahan dorongan jabang bayi raib sudah. Akhirnya aku terlahir tepat terlempar ke parit depan rumah Ust. Bardun .
            Sambil memanggul 2 ember besar berwarna hitam yang belum terisi aku berlari semangat dengan hitungan teratur “tu,wa,tu,wa…” Sepanjang perjalanan aku berusaha mengumpulkan semangat membara seperti mesin diesel yang menggerakan truk karena pasti energiku terkuras dengan  jarak yang harus kutempuh untuk sampai di rumah emang sejauh 3 km.
“Huh…Assalamualaikum mang..” Ucap ku lemas sambil mengetuk pintu kayu rumah emang yang hampir lepas termakan rayap. “Waalaikumsalam..eh kamu Dun. Walah, cape ya ? keringatnya sampai membanjir begitu..Emang bawakan air ya?” tawar si emang. “Ehmmm.. tidak usah deh mang. Pardun harus bergegas timba air, emak tlah menunggu di rumah” Jelasku pada emang. “Oh yasudah. Laga – laganya punya rumah bukannya gubuk yaa? Hahaha”Bicara emang menyindir padaku.            
            Spontan kubalikan badan melepas pandangan ku pada emang, kuangkat lagi dua ember kosong ke sumur yang dalamnya 10 m tanpa berkata sepatah kata pun pada emang. Itu merupakan  sindiran paling menyakitkan dari mulut nakal Emang, suatu saat nanti aku akan membuktikan bahwa tempat pijakan aku bersama emak layak dipanggil rumah. dalamnya 10 mgn badan melepas pandangan ku pada emang, kuangkat lagi dua ember kumuh kosong ke sumur tanpa berkata sepatSedikit demi sedikit ku tarik tali penimba air terus dan terus kuulangi gerakan itu hingga tarikan pamungkas .   
             “Alhamdulillah , akhirnya penuh juga…” Tak lama, suara aneh mengusik gendang telingaku, seperti suara seretan tubuh manusia dengan jalanan yang kasar. Semakin lama suara itu kian membising dan… “Aaaaaa...” Jeritku ketika kurasa tangan yang begitu kasar memegang erat betis berototku dengan penuh kekuatan. Kuberanikan diri menoleh ke arah belakang. “Cuuu,..Airnya cu..haus cuu…” rintih kakek yang baru saja membikin copot jantungku. “Astagfirullah , kakek…Ini airnya (aku memberikan air hasil jerih payahku tadi). Kek, mengapa sekujur tubuh kakek dipenuhi darah begini? Apa yang telah terjadi kek ?” Tanyaku iba padanya. “Sudahlah cuuu….Jangan difikirkan (glekglekglek…) Alhamdulillah cuuu, terimakasih atas pertolonganmu, sungguh engkau anak yang benar – benar baik. Suatu hari nanti mimpi mu akan berubah menjadi kenyataan aku YAKIN …” ucap kakek itu.                                                                                                                     
               Aku tak mengerti atas apa yang ia katakan, karena aku masih terfokus pada darah yang terus mengalir di sekujur tubuhnya. Tak jarang aku teteskan air mata, rasa iba ku menggelayut tajam .                                                      
            “Kek tunggu ya..” Kakek itu tidak menjawab perkataanku, bergegas ku lari menuju rumah Emang untuk meminjam lap pengering luka kakek. “Hoshoshos..” Dera nafasku memburu saat tiba di rumah emang. Kebetulan emang sedang duduk santai di kursi luar rumahnya berwarna coklat . “Nah loh, kenapa kamu Dun?” kata emang keheranan. “Emmm, anu itu anu mang itu.. emm, lap, lap mana?” Jawabku gelagapan. “ Yeh si Pardun, itu dibawahmu apa ?” Kata emang sedikit kesal. “Eh iya, hehe^^….Pardun pergi lagi ya mang, Assalamualaikum..” Ujar ku seraya mencium tengan emang. “Aduh anak itu …!” Gumam emang sembari memasuki rumah mini nya. Saat ku tiba di depan sumur, keadaan sedikit berubah . “Kek…Pardun datang bawa lapnya….Nah e..nah loh? Mana dia? Tadikan disini ?“ keadaan telah berbeda, kakek menghilang… “Loh..loh bagaimana dia bisa pergi dengan luka separah itu dan kenapa embernya bisa penuh lagi, tak mungkin kakek yang menimbanya. Tadi kan tersisa setengah lagi…aaaaaaaaa,..Emaaaaaak waaaaaaaa!” Kutinggalkan sumur emang dengan masih menyisakan sebuah MISTERI. Sesampai di rumah, kuletakan 2 ember berisi air dan langsung susuri setapak ruangan menuju kamarku yang sempit  penuh debu. Kuhempaskan segala keresahan dengan meregangkan badan di ranjang reyot tua ku. Baru terasa ada sesuatu yang menyelip di dalam kepalan tenganku.
“Apa ini..?” Tanyaku dalam hati, kubuka lembaran itu. Ternyata lembaran pertama berisi…

LOMBA LARI 7 KM Se-PROVINSI JAWA BARAT

Ass. Wr. Wb.. Ayo ayo, untuk anak – anak usia minimal 7 tahun dan maksimal 12 tahun gabung yuk di lomba ini. Akan dilaksanakan pada :
Hari       : Jum’at
Tanggal : 10 Okt’ 2012
Tempat : Lap. Padjadjaran Bdg
Dijamin ga rugi karena bagi yang menang dapatkan :
Juara 1    : Rp.20.000.000,00
Juara 2    : Rp.15.000.000,00
Juara 3    : Rp. 10.000.000,00 + Piagam + Trophy .Terbuka untuk umum. Terimakasih. Wass. Wr.Wb

            Aku tercengang  seakan takjub melihat nominal angka yang tlah berbaris rapi itu, bahkan karena terlalu banyak  aku keteteran tidak bisa menghitungnya. Maklum aku tlah putus sekolah seharusnya kini aku tlah injak bangku tertinggi di tingkat Sekolah Dasar. Tapi tak apa mungkin nasib sedang tidak berpihak padaku. Kuteruskan untuk membuka lembaran ke dua yang berisi formulir pendaftarannya….Terlintas dalam benakku untuk mencoba mengikuti lomba yang tergolong elite itu, tapi rasa pesimis menghujam diriku.

PENDAFTARAN LOMBA LARI 7 KM
Kode                           : 1234***
Nama                          :
Umur                          :                                    
TTL                            :                      
Alamat Rumah          :
Nama Orang Tua      :   
DIKIRIM KE PO.BOX             
L.L.J.B 1234 Pengalaman lomba : Alamat

“Alah…Mana mungkin sih, seorang bocah lusuh sepertiku mengikuti lomba itu. Tahap seleksi mungkin langsung kalah. Menang? Mimpi doang”          
               Jam dinding berwarna kuning keemasan yang masih tertempel di kamar bercat abstrak itu merupakan warisan leluhur ku. Itu merupakan satu – satunya barang berharga di rumahku.  Jarum pendek menunujukan ke angka 17.00, kuhamparkan sajadah hijau yang tlah robek itu ke arah kiblat. Kulaksanakan solat ashar dengan penuh khidmat. 
            Tak terasa waktu berlalu begitu cepat, Bulan September tlah berakhir. Hari ini tepat di tanggal seorang PNS menerima gaji, 1 Oktober 2012. Tak sengaja mataku mengarah menuju lembaran mengenai lomba lari 7 KM yang sewaktu itu pernah kubaca, kucoba tuk berfikir berulang kali dan akhirnya tanganku tergerak mengisi formulir tersebut. Mulai dari Nama lengkap hingga alamat rumah ku yang hanya prakiraan saja.             Kuletakan formulir tersebut ke atas meja kayu yang sering kupakai untuk belajar dengan perasaan acuh. Lalu aku keluar rumah sekedar mencari angin  sekaligus mencari kerja, bila bernasib baik biasanya ada yang menawariku kerja jika tidak apapun bisa kukerjakan entah memmanggul barang di pasar atau sebagainya. ­­­­­­­­­­­ ©           
              Semburat matahari mulai muncul menenggelamkan kegelapan dunia semalam tadi. “Huaaaaa….” 3 hari tlah berlalu setelah kuisi formulir tersebut, rencana nya aku ingin menengok lagi formulir tersebut sekedar membacanya saja . Tapi… “Nah loh……Kok gaada ya itu lembaran formulirnya, kemanaaaaa? Oh tidak ..!” “Emaaak, lihat formulir tidakkk..?” Aku berteriak menanyakan keberadaan formulir itu tanpa tahu dimana emak. Kucari ke setiap penjuru rumah dari belakang hingga ke depan rumah , saat di depan rumah terdengar suara yang sangat asing di telingaku . “Pos..Pos..Pos..Pos..!!!” Sepucuk surat yang dilempar bapak tua berkendaraan motor bebek itu melayang persis mengenai wajahku. “Aduuuh, sakit…Ga biasanya tukang pos masuk perkampungan yang kumuh dan sempit begini. Apa ya isi suratnya ??? heu…apa jangan – jangan..” karena takut akan isi suratnya, aku memanggil teman karibku yang rumahnya tidak jauh dari rumahku, aku ingin dia membantuku membuka surat ini. Parjo namanya. “Jooo…Parjoo…!” Panggilku ke rumah mirip gubuk rumahku namun sedikit lebih layak. “Lhooo…Ono opo to…?” Jawabnya berkhas medok. “ Ini tadi tukang pos ngasih surat ini, aku takut ada apa – apa bantuin dong , kita buka bersama – sama yaaa…” “Aduh kamu ya Dun …. Katrok deh, suratnya rata mana mungkin to isinya bom atau semacam yang berbahaya, huuu Poko’e aman dweh “ “Ya, tapi aku tetep takut Joooo…Buka sama – sama yuk…?”Tanyaku ragu. “E..e..uu…Kulo ora yakin…hehehe J “Jawabnya membuatku naik darah. “Beubeubeuh…Yasudah kita buka sama – sama yaa…” Aku dan Parjo membuka surat itu sambil menutup mata, orang – orang yang lalu lalang dihadapan kami, seakan ikut  gelisah juga, akhirnya surat itu menjadi pusat perhatian banyak orang. Segelintir orang mengelilingi aku dan Parjo bahkan Bapak Kepala Desa setempat yang mengetahui hal yang menggelisahkan itu datang ke lokasi. “1..2..3…terbuka…” Hitung ku bersama parjo, perlahan ke dua mata kami terbuka . Ternyata isi suratnya hanyalah sebuah kertas  yang mengatakan …

SELAMAT PARDUN…ANDA LULUS TAHAP SELEKSI ! BERJUANG UNTUK LOMBA …. !

“Yeeee, horee…” Baru tersadar, ternyata orang – orang memadati tempat aku dan Parjo, mereka bersorak sorai membuat aku kaget, bahagia juga heran. Perasaanku campur aduk dan senang bukan main… J “Terimakasih semuaa, Pardun akan berjuang dan takkan mengecewakan kalian..!” Semua warga menyalami ku termasuk Bapak Kepala Desa , sedangkan Parjo memeluk eratku dan berjanji membantuku menggapai kemenangan nantinya. Saat itu aku merasakan seperti bintang tersohor .           
              9 Hari lagi lomba terlaksana, Parjo mulai saat itu semangat menemaniku untuk berlatih, di hari pertama latihan Parjo menunjukan sesuatu kepadaku . “Kamu udah siap to Dun, iki to kulo diberi kakek tua barang ini..” “Kakek tua..?Apa itu si kakek misteri itu?” Lamunku dalam hati “Eh…!Huss..Ojo lamune …iki opo yo?” “Itu namanya Stopwatch Gunanya untuk menghitung seberapa cepat orang melakukan sesuatu, misalnya berlari..Aku pernah belajar itu dulu saat masih sekolah” “Ahaa, pas to Dun…Sampeyan mau latihan lari kan ? Pake ini saja biar dari hari ke hari terlatih matang..” “Oalah, baru terfikir. Cakap mu bagus Jo..”        
                 8 hari berturut – turut aku dan Parjo lalui bersama, esok tantangan harus kuhadang. Semalam sebelum hari H aku baru terfikir “Siapa pengirim formulirnya? Tanpanya tak mungkin aku bisa mengikuti  lomba ini..?” Pertanyaan itu menggerogoti malam suntuku.      
                   10 Oktober tiba, Si Jalu jam hebat ciptaan Tuhan Yang Maha kuasa bersuara. “Kukuruyuuuk….” Fajar tlah tiba, mata sayu ku melihat buraman seorang wanita baya dihadapanku. Dirinya langsung berkata … “ Selamat Ulang tahun anakku..Kini usiamu semakin bertambah 1 tahun, hanya satu hadiah yang bisa kuberikan padamu anandaku..” “Terimakasih untuk ucapannya Emakku, memangnya apa? Aku tak butuh hadiah apapun darimu..Cukuplah kasih sayang yang telah kau beri padaku” “Emak mau mengakui bahwa pengirim formulir itu adalah Emak sendiri. Emak mau kamu berjuang keras saat lomba, Emak mendoakanmu anakku..”     
                    Hanya satu kata dariku untuk Emak “TERIMAKASIH” . Air mataku tak bisa kutahan , tetes demi tetes melumuri suasana yang penuh haru itu. Jam 09.00 Lomba lari dimulai, aku tlah tiba di Lapangan Padjajaran Bandung kurang dari Jam 09.00. Kupandangi banyaknya peserta lomba , tapi rasa pesimis tlah hilang dari dalam diriku. Aku OPTIMIS bisa mendapat Juara walau hanya menggunakan Kaus Oblong dan sepatu rusak yang telah mangap. ‘10’ adalah nomor pesertaku sekaligus menjadi nomor kebanggaan ku untuk hari ini, sekarang aku tlah siap untuk memulai tantangan ini bersama dengan ribuan perserta lainnya, aku berada di 2 m sebelum garis start. “Bersedia Siap Mulai…..!!” Lari 7 KM se Jawa Barat dimulai, inilah mimpiku yang menjadi kenyataan yang sungguh tak bisa dipercaya . terlintas kata – kata dari Kakek misteri yang sempat kutemui sewaktu itu, dan itu benar – benar membuatku menjadi semakin OPTIMIS menghadang tantangan hari ini. Kini, si nomor 10  memimpin dan itu AKU …. “Yeee…” Sorak sorai penonton tertuju padaku, si Juara lomba nomor 10, aku tergeletak lemas seakan tak percaya. Deru terompet di panggung menyambutku penuh bahagia.       
                 Sujud syukur langsung ku lakukan, untuk berterimakasih kepada Allah  S.W.T atas kesuksesan lomba hari ini. Tapi sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama ketika… “Pardun…! Gawat….” Teriak Parjo gelisah bersama air mata yang membanjir wajahnya itu, dia lari hendak mendekati panggung . “Ada apa Jo..?” Tanyaku yang juga gelisah . “Emakmu MENINGGAL,,,” Jawabnya.      
                   Suasana itu berubah menjadi haru, penonton pun ikut menaruh keharuan . Entahlah matahari dalam jiwa ku seakan ikut berubah menjadi muram, aku seperti dihantam bom besar . Perasaanku campur aduk . Aku bergegas lari menuju rumah sambil membawa piala sebagai pembuktianku pada emak.. Kutatap wajah pucat  si emak “Emak,,, Pardun Juara 1 mak,,, bangun mak..Lihat anak kesayanganmu mendapat Juara mak…huhuhuhu…” tangisku seraya menyodorkan piala ke hadapan emak yang telah terkulai tak berdaya. Ya aku tahu nasi telah menjadi bubur , tak ada yang bisa kulakukan lagi. “Inalillahi Wa inailaihi Rojiun..” Ucap semua orang yang mengelilingi jasad orang yang kucinta.     
                    Aku baru ingat akan kata – kata kakek tua bahwa mimpiku akan menjadi kenyataan, ya mungkin ini maksudnya walau aku harus melepaskan orang yang kucinta, setidaknya aku telah menunjukan pada semua orang  bahwa mimpi tak boleh disepelekan, lihatlah aku si bocah lusuh yang hanya bermodalkan sebuah mimpi tetapi bisa mengubah itu menjadi kenyataan tentu bersama kerja keras juga doa orang – orang tercinta. “Dan kini aku berjanji akan mengejar mimpi – mimpiku yang lain demi emak juga demi semua orang yang telah mendukungku, Karena aku Si PENGEJAR MIMPI…. ”

                             SALAM PENGEJAR MIMPI    ……^___^…..

Kejarlah mimpi – mimpimu kawan…..Yakinlah bahwa MIMPI bukan sebatas angan – angan tapi bisa menjadi kenyataan.


Tidak ada komentar: