Angin berhembus menyirat luka mendalam kepada
kebahagiaan semu, lalu berhembus lagi dan berhenti akhiri alunan itu. Sunyi
dalam kesendirian menampakanku pada suatu frasa yang tak tergambar dalam arti
sebuah kesolidan, bukan bersama namun sama-sama arungi waktu.
Sosialis
yang tidak sosial, itulah aku. Nampak aneh dalam bulan-bulanan gelar yang bukan
sejatinya aku, berpura-pura sok ‘sosial’ namun hati ini seakan berontak keras,
bukan ahli ku, bukan bidangku disana.
“Kok
diem aja?” Tanya berpeluh.
“Engga,
lagi puasa ngomong aja” jawabku melantur.
Alisnya
coba dinaikan lalu pergi.
Apa
itu teman?
Pantaskah
disebut sahabat?
Atau
orang tersayang?
Datang
atas dasar rayuan hati yang memberontaknya, hanya bercuap cuap berlandas kata
tanya dan hilang.
Tertegun
dalam seribu bayangan langkah nyata badannya, semampai tinggi dalam balutan
pesona yang mendaging, sedang aku.
Tidak
ada yang pantas untuk dijadikan seorang teladan, rujukan dalam mencari
sejatinya arti teman. Sosial penentu segalanya tuk dapati hasrat bersama-sama
arungi setiap moment, tapi hanya sebatas jalan yang bak dipenuhi buaya, seakan
aku terus takut masuk dalam keadaan itu.
Aku
pintar. Aku cukup kaya. Namun tak ada teman.
Angin
berhembus kembali, tapaki setiap lemak yang menjalar ke tubuhku menuju lubang pasir orang tertinggal, tak ada yang
menaungi hari sakral ku, hanya raga tak sempurna yang dibobroki lemak yang
menggumpal yang naungi ketiadaan rasa pertemanan dalam gelapnya perjumpaan alam
baru itu.
Fetty Asmara-Orang Tertinggal-Berbadan bongsor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar