“Berputar...Terus
berputar hingga terseok dalam takdir Tuhan”
Tak pernah coba berhenti dalam roda
kehidupan, terus berjalan lewati semua yang diam atau sekadar istirahat dalam
sukarnya berlari. Fantasi itu menggenggam asa ku tuk coba memilikinya. Aku
sangat ingin memilikinya. Memiliki yang layak.
“TENGGELAMKAN
MIMPIMU!” Teriak keras bernada kurang bersahabat dari trotoar di atas sana.
***
Aku sangat mengerti bagaimana
jalannya roda, mulai dari roda mobil dekade lama hingga modern atau banyak
dikenal merek Lamborgini yang
ditumpangi manusia-manusia berdarah biru dan tak aku mengerti mengapa berbeda
dengan nasibku, roda kendaraan
bermotor yang ditumpangi bapak, ibu, remaja yang beraut wajah tak karuan dalam dinginnya
pagi waktu kerja, roda sepeda yang ditumpangi anak-anak kecil yang masih
bermain ceria dalam limbung kekanakannya juga roda sepatu, sepatu roda
maksudku, maaf aku hanya anak kolong.
Cicit-cicit burung, gugurnya
dedaunan pohon, embun yang menyelam nuansa buta dan aroma aksen kelusuhan
rakyat kami diadu di hari ini, kembali, seperti biasanya. Tidur dan bangun
dalam keadaan yang sama, bau.
“Anak kolong sepertiku takkan bisa
mendapatkan apa yang aku mau, takkan pernah dan takkan mungkin”
Sejenak roda-roda kehidupan yang telah
sangat aku mengerti seakan berhenti sesaat, berhenti mengalun kekecewaanku.
Mengembara harap lebih di waktu yang
seakan berhenti itu.
“Hoy!”
“Hah...” Aku seketika berdecak kaget
membalas tepukan keras tangan lusuh yang bermujur kurang baik layaknya aku. Oh
Rajeb, dia Rajeb, teman seperjuanganku yang terobsesi dengan kekuatan. Entah
apa yang menjadikan kekuatan mengobsesikan dirinya, mungkin karena memang dia
pernah dihakimi tragis oleh warga komplek elite
dulu makannya dia mengobsesikan itu. ‘Aku ingin membalas mereka yang sedari
itu menghakimiku’ alasannya.
“Pagi-pagi kok udah ngelamun, ayo
cepat siap-siap ke atas, ini waktu yang pas, bos besar sedang di luar!” Ajak
Rajeb berkobar semangatnya.
“Asyik! Akhirnya roda-roda impian,
akhirnya aku kan temukan kau lagi!”
“Ah kamu ini, selalu saja sepatu
roda yang ada di harapmu. Sudah siap? Mari kita naik!” Ajak Rajeb lagi sambil mengayunkan langkah deluan
memanjat naik ke atas, atas trotoar maksudnya, maklum aku sekadar tinggal di
gubug kolong.
Setibanya di trotoar, refleks
pikiranku mencoba menggerakan kakiku ke arah kanan, berjalan di pinggir
roda-roda yang menderu, tibalah aku di tempat favoritku. Tempat yang sama-sama
pengap nya dengan kota yang aku pijaki, metropolitan yang penuh kesenjangan. Disana
aku mendapat roda-roda kerinduanku, sepatu roda buangan orang metropolitan. Aku
pun mengambilnya.
Rajeb, dia sudah tahu betul
kebiasaanku, dia pun hanya mengulas senyum.
“Asyik Jeb, aku dapat satu pasang,
lumayan bolong-bolongnya ga terlalu parah, ga kaya yang kemarin-kemarin, jebol
jadi gada yang bisa kucoba.” Curahku padanya.
“Haha dasar anak kolong pecinta
sepatu roda.” Responnya lagi-lagi dengan senyum.
“Haha. Aku memang pecinta sepatu
roda, aku sungguh-sungguh Tuhaaaan!” teriakku di TPS yang semakin berbau busuk
aromanya.
“Ah yaya. Ayo cepat turun lagi, bos
besar takutnya udah pulang.”
***
Badannya yang bergumpal otot-otot
tak bertepi, rupa nya yang menakutkan menambah gambaran kekejaman lelaki itu.
Tabiatnya yang buruk, seperti hal nya suka berjudi, minum-minuman dan ngelem
yang lebih tak aku dan Rajeb sukai, bak babu iblis dunia yang dikurung oleh
jeruji besi yang kuat, sempit dan mustahil terlepas. Berbeda dengan anak kolong
lain, mereka bak mendewakan si lelaki iblis itu, menuruti segala perintahnya
dengan spontan dan ikhlas tidak seperti aku dan Rajeb yang membantah dahulu
sebelum melakukan hal ‘tabu’ yang aku sebut hina.
Hina, benar, sangat hina. Kami
disuruh berpakaian compang camping lebih dahsat dibanding compang campingnya baju-baju
kami, terbayang bukan robeknya di hampir semua sudut, juga sambil membawa gelas
air minuman bekas, mudah memang tinggal duduk dan pura-pura melumpuhkan kaki.
Dapat diraup Rp 200.000,00/hari, namun hal hina tetap hina.
“KUMPUL KUMPUL!!!”
Suara keserak-serakan sekaligus
tegasnya mewarnai kesunyian kala itu, semua tampah riuh kesana kemari mencari
sumber asal suara, suara bos iblis itu. Si Togar namanya.
“SEKARANG CEPAT MENGEMIS LAGI DI
ATAS!!!” suruh si Togar lantangnya tanpa raut dosa.
“Kami tidak mau lagi!!!” Kataku
memberanikan diri menolak pada suruhan si Togar.
Semua nampak bersungut memandang
aku, bodoh, bebal dan pandir mereka bisik-bisik bersuara padaku, seakan aku
melakukan hal yang salah, padahal untuk kebaikan semuanya. Namun apa daya hanya
Rajeb yang bersedia menjadi teman ku.
“Benar, tepatnya kami berdua tidak
mau lagi!!!” Bela Rajeb tak mau kalah.
Dibawa nya sebilah benda tajam dan
didekatkan ke leher kami, kami pun hanya bisa mengiyakan suruhannya atas dasar
terpaksa, aih iblis macam apa yang menggerogoti dirinya Ya Rabb.
Bersedialah kami mengemis di
trotoar, terpaksa, sangat terpaksa. Kocek yang kami kumpulkan tak sedikitpun
kami terima, semuanya diraup si iblis itu, kami hanya mendapat imbalan satu
bungkus nasi tak berbau sedap, namun apa daya, hidup ini tetap saja roda yang
terus menggelinding dan hanya bisa berhenti atas dasar kehendang sang Illahi.
***
16 tahun lamanya aku menapaki setiap
lika-laiku kehidupan di sini, kolong jembatan yang tak berarti dan tak pernah
diartikan oleh siapapun yang memiliki sejenis roda-roda trotoar. Aku ingin ubah
paradigma masyarakat tentang kami, tak berbedanya kami dengan mereka, kami sama
seperti mereka, menjalani hidup bersama roda yang menggelinding.
Sudah 20 pasang koleksi sepatu
rodaku di kolong, aku menyimpannya di brankas mahal milik Tuhan, tanah, yap di
bawah tanah. Karena mengapa? Bang Togar tak ingin kiranya ada barang yang tak
penting dan seperti halnya sepatu roda, karena kami dibilangnya hanya ‘Anak
kolong tak bermasa depan’.
Keinginanku memiliki roda mahal
sejenis sepatu itu dari dulu, telah lama, aku mengenalnya lewat seorang bocah
kota yang aku temui saat aku mengemis di taman dekat trotoar, aku hanya melihat
tingkah lucunya berlari-lari di sana dengan sepatu berodanya, bagus dan bagus
sekali dilihatnya.
“Debug!!!” suara meja berhamburan
memekik telinga.
“APAAN INI, BARANG TAK BERGUNA!”
Bentak Togar yang sedari itu menemukan aku di belakang gubuk kolong yang sangat
sempit, aku cepat menguburnya kembali namun Togar telah lebih cepat melemparkan
api ke brankas penyimpanan sepatu rodaku selama ini.
“Abang, apa urusanmu, jangan!!! Ini
sepatu roda temuanku di TPS!!!” aku tak setuju atas perbuatan tak beralasannya
itu.
“Astaga Jal, kenapa di bakar segala
ini, sepatu rodamuuuuu??!!!” Seseorang yang baru tiba itu kaget bukan main.
“Huk..Huk..Huk..Sudahlah tak apa, di
saat aku hanya memiliki sepatu roda buangan saja, nasibnya telah seperti ini,
mungkin bukan nasibku memiliki apa yang aku harap Jeb” Tersendu aku
dipertontonkan tarian api yang semakin besar membakar 20 pasang sepatu sepatu
rodaku.
“Tinggalkan kegalauanmu, mari cari
sumber air di atas, api bukannya semakin padam malah makin liar Jarrr!!”
Beritahunya padaku yang masih menundukan kepala, tercekat kaget aku saat
mendongakan kepala ke atas, api yang di lempar sepercik oleh Togar dapat
menjadi bulan-bulanan awan yang seakan merintih kesakitan.
Selang dua jam setelah tragedi itu,
semua petugas pemadam maksudnya aku dan Rajeb sedikit lega, maklum lega karena
kami rasa kami hebat, anak kolong lain belum dapat kabar tentang hal kebakaran
tadi, jadi dengan upaya penanganan dua anak remaja seperti kami, telah sanagat
maksimal, apa yang melahap-lahap bak monster dapat diraibkan.
***
Sepatu roda yang aku inginkan belum
dapat aku terima kali ini, mungkin roda yang menggelinding belum jatuh pada
keberuntunganku, maksudnya masih ada hal-hal lain yang lebih bermakana
dibanding memikirkan hal kecil seperti sepatu roda yang belum tentu besar
khasiatnya.
Dari sepatu roda aku belajar untuk
senantiasa mengahargai hidup setiap detik waktu yang berjalan, karena kapan
saja, dimana saja, siapapun kita akan berhenti dimana kehendak Tuhan telah
sejalan dengan suratan Takdirnya.
Dan Jasad pun tlah jadi abu, persis
seperti kata-kata yang pernah diucapkannya padaku, Jafar Musaffar. “TENGGELAMKAN
MIMPIMU”, tapi Tuhan Adil ternyata, kata-kata itu kembali pada pemiliknya yang
mana lebih tepatnya “TENGGELAMKAN JASADMU”. Kini jasadnya telah mengudara
menjadi abu hitam yang berterbangan diantara roda-roda kehidupan.
SELAMAT JALAN TOGAR!
SEPATU RODA PULUNGANKU KAN JADI
SAKSI MATIMU!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar