Betapa bahagianya mereka yang bisa memanfaatkan
dengan baik waktu bersama ayah bundanya..betapa bahagianya mereka yang masih
merasakan hangatnya kasih sayang ayah bundanya, aku melihat mereka merekahkan
senyum lebarnya, lebar sekali... Ada yang bermain, belajar bahkan adapula yang
larut dalam dekapan hangat ayah bundanya. Sungguh aku menyesal.
Kringgg...
“Assalamualaikum
Lira, gimana kabarnya?” suara wanita bertanya di ujung telefon.
“Maaf,
ini siapa?” tanyaku bingung.
“Ini
ibu yang waktu itu menemui kamu di panti nak, oh iya panggil sekarang mama
ya...” Jawabnya.
“.....”
“Siap-siap
ya Lir, besok mama dan ayah jemput kamu, oh ya sampaikan terimakasih banyak ke Ibu
panti sudah mengizinkan ibu eh mama dan ayah merawat kamu..”
Tut
tut tut...
Hah, rasanya aku ingin berteriak
keras, keras sekali, aku ingin menemukan kebahagiaan dan keadilan hidup
sebenarnya, dimana sebenarnya kebahagiaan itu, dimana sebenarnya letak keadilan
Tuhan yang katanya Ia telah beri kepada semua umatnya, dimana?! aku hanya bisa
pasrah, apa besok kebahagiaan sebenarnya dalam hidupku akan datang?
Aku lahir dengan banyak tanda tanya
besar, 15 tahun lalu ibu panti atau sebut saja ibu Rana menemuiku di suatu
tempat yang tidak pantas diletakan bayi mungil tanpa dosa, badanku menggigil,
suhu badanku dibawah normal, aku merengek sekeras-kerasnya, mataku masih belum
bisa melihat. Apa ini sudah nasibku Tuhan? saat anak-anak lain diciumi kasih
sayang dengan ayah bundanya, aku hanya merengek mencari kepastian di tempat tak
pantas itu? Iya ini nasib, tak bisa diubah, ups rasanya meleset, salah besar,
mungkin besok bisa diubah.
Kukuruyuuuuuk
Si jalu, jam hebat ciptaan Tuhan
mengeluarkan suara jantannya, hari ini hatiku berdebar menunggu 2 malaikat yang
akan merubah hidup ku menjadi suatu kebahagiaan. Mungkin?
“Oh
ya waalaikumsalam ibu Erlin, jadi nih membawa Lira?” tanya bu panti.
“Iya
Bu Rana, saya bawa Lira ya” jawabnya dengan pasti.
AH TIDAK! Kebahagiaanku bukan
disini, keadaan disini lebih parah dari panti. Aku kira aku akan bahagia
disini, aku bisa menemukan sejumlah kemewahan disini, aku tidak mengira
harapanku jauh dengan kenyataan yang aku lihat.
“Selamat
datang di rumah kami nak... sekarang jangan canggung untuk melakukan apapun
disini, panggil kami mama dan ayah ya, kami berdua sayang lira” katanya sambil
mencium keningku, ia pun menyuruhku masuk ke rumah yang bukan seperti rumah
menurutku. Aku hanya menggeleng sambil memaksa tak mau masuk.
2 minggu yang aku jalani dengan
segudang aktivitas disini rasanya seperti berada di kehidupan paling buruk,
pagi hari aku bangun tidur lalu membereskan kasur, kalau di panti ada pembantu
yang membereskan, lalu aku mandi dengan air yang harus aku timba di sumur,
kalau di panti aku sudah enak saja soalnya ada shower, lalu dan lalu masih
banyak sekali aktivitas yang aku rasa tidak sedikit aku benci.
“Lira...
Tolong bantu ayahmu bawa koran-koran di kursi ya, ayah mau bersiap cari uang
tuh..” suruh wanita menjengkelkan itu padaku.
“Heuh!
Aku malu tau aku malu punya ayah angkat tukang koran, punya mama angkat buruh
cuci, aku malu!!!” jawabku dalam hati, terpaksa aku melaksanakan suruhan si
buruh cuci itu.
Siangnya aku bersiap-siap ke
sekolah, sekarang aku duduk di bangku MA kelas 1, sebenarnya aku menolak saat
di sekolahkan di sekolah islam itu, harapanku jika aku diangkat oleh orang tua
angkat menjadi anaknya inginnya aku sekolah di sekolah internasional. Sekali
lagi aku benci hal ini!
“Lira,
pr sejarah islam nya udah?” tanya Lia, cewe berjilbab dan cerdas di sekolah.
Aku sama sekali tidak menyaut
pertanyaannya, siapa dia? So kenal banget, seharusnya nih ya, dia itu ga pantes
kenal sama aku. Terlalu kampung, teman yang pantes temenan sama aku adalah
temen-temen elite di sekolah internasional sana.
1 tahun berlalu, aku lewati dengan
banyak keluhan dan keluhan, dan nyatanya aku tidak naik kelas, hidupku hancur!
Hancur! Hancur! Iya ini berkat mereka, si buruh cuci dan pedagang koran, aku
mau lari dari segala masalah ini, aku mau lari dengan suatu solusi paling hebat
yang pernah aku tau, aku mau bunuh diri!
Aku mengambil pisau dari dapur jelek
dengan cat yang sudah luntur, tapi ... Heuh! Rencanaku diketahui si buruh cuci
itu, dia melihatku, lantas dia langsung memelukku, mencoba menenangkanku,
menanyakan alasan mengapa aku berbuat seperti itu, aku hanya terdiam jengkel,
lalu mendorongnya hingga jatuh ke ubin kamar mandi yang licin, sepertinya baru
saja dia selesai menyelesaikan pekerjaannya sehinya ubin nya masih sangat licin.
Aku tertawa puas.
Aku mencoba mencari siasat lain, aku
pergi ke jalan yang banyak kendaraan berlaju kencang menunggu kendaraan yang
pas menabrakku, 10 menit menunggu, aku membulatkan tekadku, berjalan di jalan
yang penuh keramaian kendaraan melewat, dan...
”aaaaaaaaaaaaaaa,
uh sakit”
Aku rasa aku didorong, dan mengapa
aku tak merasa tertabrak? Sontak aku melihat ke arah belakang yang telah di
kerumuni banyak orang, ada apa?
Hah.. aku tak menyangka
ter..ternyata ada yang menyelamatkanku di jalan raya tadi, dan aku mencoba
melihat, koran koran berserakan, tidak tidak itu ayahku, berlumuran darah
dimana-mana, semua yang mengerubuninya panik.
“Ak..ak..AKU PEMBUNUH ...”
Aku gelagapan sambil bercucuran air
mata, berlari sekencang mungkin menuju rumah untuk memberi tahu mama akan
kejadian ini, air mataku tak terbendung, begitu hebat menitikan air mata
penyesalan ketika..
“aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa,
mah, mah, mah bangun mah....”
Aku mencoba merasakan denyut
nadinya, tap..tapi..
“sudah
berhenti”
Aku hanya bisa menangis, menangis
sekencang-kencangnya, aku memegang tangan dingin mama yang berada di ubin kamar
mandi, merasakan sekali lagi denyut kehidupannya tapi dia benar-benar sudah
meninggal.
Aku menyesal aku menyesal aku
menyesal sekarang, rasanya aku seperti buronan, dengan kasus besar yang dapat
dinyatakan “seorang anak yg membunuh 2 orang sekaligus dalam waktu bersamaan”
dan 2 orang itu adalah mama dan ayah angkatku sendiri.
Aku mencoba mengingat kenangan
bersama mereka, kasih sayang yang coba mereka tanam di kehidupan baruku setahun
lalu bersama mereka, tapi apa balasanku?
Betapa
bahagianya mereka yang bisa memanfaatkan dengan baik waktu bersama ayah
bundanya..betapa bahagianya mereka yang masih merasakan hangatnya kasih sayang
ayah bundanya, aku melihat mereka merekahkan senyum lebarnya, lebar sekali...
Ada yang bermain, belajar bahkan adapula yang larut dalam dekapan hangat ayah
bundanya. Sungguh aku menyesal.
“Lir...Lira..Lira...”
sahut sebuah suara menyadarkanku.
“Nak..
bangun nak..” sahut lagi suara lain.
“Euh
euh euh, hoaaaaaam...mah yah? Jad.. jadi.. tadi aku mimpi ?”
“Iya
nak, tadi kamu berteriak keras “AKU PEMBUNUH” sontak kami kaget, dan langsung
ke kamarmu, ah ternyata kamu Cuma mimpi ya?”
“Mah,
yah, mimpi barusan adalah mimpi yang tak pernah aku lewati sebelumnya,
mengarungi sebuah kehidupan menjadi seorang anak panti dan berakhir dengan hal
tak terduga..” curhatku mengakhiri perjalanan panjang ini.
“Rasanya
aku diingatkan Allah untuk jangan sampai berbuat seperti itu..” tambahku lagi
sambil masih memikirkan, apa itu hanya sebuah mimpi.
“Sudah
sudah semoga kamu bisa mengambil hikmah dari bunga tidurmu ya” kata ayah bijak.
“Dan
sekarang cepat ambil air wudhu ya lir, kita tunggu di ruang solat” kata mamah
menyuruh ku cepat mengambil wudhu.
“Mah,
yah, LIRA SAYANG MAMA DAN AYAH”
Ya, itu perjalanan panjangku dalam
sebuah mimpi, aku janji tidak akanmelakukan hal bodoh seperti halnya mimpiku
itu. ^^tingting#
Tidak ada komentar:
Posting Komentar