Gali, gali, gali yang terus kucoba lakukan
setiap hari. Mencari suatu penghidupan di tanah yang strategis, bahkan aku bisa
sampai berseteru dengan yang lainnya jika disentil mengenai tanah yang telah
aku gali tetapi dicoba ambil olehnya. Aku tidak akan memberinya secara mudah
begitu saja, ini soal perjuangan yang sulit.
Pikiranku bersama teman lain tak henti-hentinya diganggu oleh aktivitas yang
sering manusia lakukan di atas tempat pijakanku, kami seakan bosan mendengar
mereka berjalan keras di atas tanah, apalagi ketika ada yang berlari, seperti
diguncang gempa hebat. Ya kalian pasti sudah bisa menebakku siapa, aku seekor
semut yang berukuran mini, bahkan jika dibandingkan dengan semut merah yang
begitu besar aku jauh berbeda dengannya.
Saat matahari
telah meninggi menandakan aku harus mencari kembali penghidupan, mendekati
segala jenis yang berbau manis dan mengupayakan untuk mengambil makanan lezat
untuk kehidupanku di rumah, tanah maksudnya. Di perjalanan mustahil jika aku
tak bertemu dengan sebangsaku, pasti aku bertegur sapa dengan mereka, mereka
bukan kerabatku melainkan disini kita bangsa semut semua bersaudara. Ada satu
yang cantik diantara mereka, ehem sudahlah.
“ITU DIA....!” Ucap seekor semut lain yang melihat makanan manis yang berbau
sangat lezat, semuanya berlomba-lomba mencicip dan mendekati si manis itu, tak
tertinggal aku. Belum lama rasanya kami cicipi, seseorang berbadan raksasa
datang dengan membawa suatu benda untuk mematikan kita, pernah aku dengar
katanya itu sejenis pembasmi serangga. Kita semua memencar kemana-mana, makanan
yang awalnya direncanakanku akan dibawa ke rumah sebagai santapan malam pupus
begitu saja, mulai saat itu aku berjanji pada diriku sendiri untuk
tidak mencari makan di rumah manusia lagi, aku benci manusia jahat.
Aku dikenal sebagai semut yang suka menyendiri, mereka menyebutku Gerald
si semut yang suka menyendiri. Ya benar aku memang suka menyendiri karena aku
tidak suka hidup sebagai semut! Aku benci menjadi seekor hewan yang begitu
kecil yang jika bertemu dengan sebayaku yang lebih besar sering diolok,
aku tidak ingin menjadi seperti ini, tapi takdir Tuhan selalu berkata lain. “Ia
mungkin tidak menyayangiku, ia menciptakan aku sebagai seekor semut yang tidak
bermanfaat bagi kehidupan ini, coba saja aku jadi manusia, pasti para semut ini
akan aku sediakan tempat yang layak, bukan tanah seperti ini, menjijikan.” Aku
bergumam sendiri.
“Saatnya tidur, selamat tidur! J Besok kita akan melakukan misi mencari kue ya,
persiapkan dengan baik.” teriak si semut besar ia sering disebut George si
semut pemimpin.
“Ya.. ” jawabku tak bersemangat diliputi rasa takut.
Hari mulai cerah menandakan pagi tlah tiba, dan inilah waktuku dengan yang lain
melakukan hal bodoh untuk ke sekian kalinya, mencari makan dengan susah payah.
Misi kami sekarang mencari kue di rumah yang bercat ungu disana, kami melewati
jalan sebelah kiri soalnya jalan sebelah kanan telah ada laporan tanahnya
sedang diperbaiki. Walau memang lebih jauh tetapi ini demi berlangsungnya
kehidupan kami.
“SEMANGAT!!! JALAN...!!!! Stu Dua Stu Dua.” Teriak kami, aku yang paling tidak
bersemangat pastinya.
Setibanya di dalam rumah tersebut, aku mencoba berkata di depan barisan untuk
tidak melanjutkan misi bodoh ini, karena pasti setiap telah menemukan
makanannya kita akan dibunuh oleh manusianya. Tapi yang lain tidak mendengar
mereka terus berjalan meninggalkan aku yang mencoba melerai mereka.
“Sepertinya tidak ada gunanya aku ikut, keberadaanku tidak dipentingkan.”
Gumamku di dalam hati.
Aku kembali ke rumah, disana aku beristirahat di atas batu-batu kecil. Hari
semakin malam, sedangkan rombongan semut pemimpin yang aku tinggalkan belum
juga pulang, aku seakan resah dibuat kelakuan mereka.
“MEREKA TIDAK KEMBALI...!” Umum si semut berpipi merah namanya Lili.
“Ini semua salah mereka, aku telah mencoba mengingatkan mereka untuk tidak
melanjutkan misi, tapi mereka terus melanjutkannya!” kataku penuh emosi.
“Mereka mati semua, tidak bersisa, katanya mereka mati karena disemprot oleh si
manusia jahat dengan pembasmi serangga, sekarang bangsa kita tinggal sedikit,
aku mengingatkan kepada kalian untuk tidak mencari makanan di rumah-rumah
manusia lagi, jangan mengulang hal yang sama! huhuhu” Seru istri George
si pemimpin sembari diliputi sedih karena suaminya yang menjadi salah satu
korban.
“Iya.” Kataku menjawab.
“Kalau saja mereka mau mendengarkanku, tidak akan begini ceritanya.”
Ucapku dalam hati lalu menutup kisah mengenaskan itu dengan memejamkan mata di
ranjang empuk dari daun milikku.
Pesan
: “Dengarkanlah omongan orang yang sedang mengingatkanmu, karena setiap orang
berhak diberi kesempatan didengarkan oleh orang lain.”
Penulis : Retta
Farah Pramesti
Cerpen hasil karyaku
ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran akan aku tampung,
terimakasih yang sudah membaca, semoga diberi pahala yang setimpal :) hihi :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar