“Dingin
ya.”
“Uh..”
“Aku pingsan!Pasti pingsan!!”
Ia begitu kecil dan diam, seraya
melirikan seberkas bayangannya yang semakin menjadikan umpatan ‘diam’ dariku
untuknya tak terhenti. Kemodusan ku
untuk membuatnya sedikit bergairah malam ini dengan ingin dikhawatirkan bahwa
aku akan pingsan karena cuaca kali ini memang begitu dingin tak sanggup juga
menyerang benteng kedinginannya malam ini.
“Hai”
“Lalu. Apa yang bisa kau kalahkan
lagi selain angin malam ini. Cukup untuk semua ini. Jangan pasang wajah seperti
itu.Sungguh 1000x lebih buruk dari sebenarnya rupamu”
“Tolong hargai orang yang berada di
hadapanmu”
“Mungkin kau bisa sedikit mengalah?”
“................”
“Mmmmm....Katakan hai saja mungkin”
“Oke aku mengalah. TRAP BACK TO ME!”
Kini wajahnya yang mematung berubah
menjadi lebih...lebih mematung. Argh! Tidak, tidak. Dalam hitungan 3...2..1.
DIA BERUBAH!!! Argh aku salah, bukannya mengucap kata maaf atau pembalasan atas
hai yang sempat aku ucap, ternyata dia melengos begitu saja, aku kira dia
akan...
“Dasar aneh!” Ucapnya, yang selalu
begitu.
Miranda.
Ya dia si kecil dingin yang sering aku modusi dan selalu saja berkata bahwa aku
‘aneh’.Uh.
---
“Jangan dekati aku mos! Aku tak suka
dengan semua ini”
“Ckck...Hwahwahwa, akan aku kejar, HWAAA”
ucapnya semakin menakutkan kembaran karibnya, dialah si bhos.
“Lucu sekali kalian, jangan buat aku
bingung memilih kalian mos, bhos. Siapa ya yang aku pilih...”
Dengan saling berpandangan tak
karuan, mereka berdua menatap geli subjek yang sedang berbicara itu.
“Pernah kenalkah kita?” mos dan bhos
saling heran berpandangan tak karuan.
“Dingin ya malam ini...”
“Uh.”
“Aku pingsan”
Kini aku coba mengubah modusku, bukan ‘aku akan pingsan’ namun
‘aku pingsan’, yap! Cerdas. Tergeletaklah aku di depan mereka, namun mereka
bukannya menolong si cantik ini, namun bergegas pergi dengan melanjutkan
kebiasaan mereka. Diteror dan takut. Selalu begitu.
Phobos
dan Dhemos. Ya, Dhemos si peneror yang begitu jahil terhadap kembarannya
Phobos, yang dikenal penakut jika
diteror alias dikejar tak jelas oleh kembarannya itu. Aku pun menjadikan itu
sebagai gurauan ku di kala aku sendiri dan lagi-lagi mereka bukan salah satu
yang jadi temanku, em bukan, teman hidupku.
---
Cakrawala yang membentang menjadi
sebuah karya indah Tuhan membuatku terenung.
“Aku bukan siapa-siapa, dan takkan
memiliki apa-apa”
“Tak ada yang akan pernah suka
denganku”
“Kenapa aku seperti ini”
Seketika suasana membisu dalam gelap
malam yang semakin gelap.
“Dingin”
“Uh.”
“Aku takkan pingsan kali ini”
Obrolku sendiri dalam pembentangan
langit indah yang tak terbendung milik Tuhan.
“Bagus.”
“Baru kali ini kau kau begitu kuat,
menghalau kedinginan yang merasuki jiwamu”
“Seakan kedinginan yang kau rasa,
jadi penguat di kala kau terpuruk”
“Aku menyukai mu dan aku berjanji kan
setia tuk jadi penepis kedinginan yang merasuk dalam dirimu”
“Sekali lagi, aku janji....”
“Spec...spectra...Hargai orang yang
di depanmu”
Aku yang sedari tadi bergalau ria
dalam nuansa ketidakadilan seakan kaget akan hal tak terkira ini. Dia Palapa, bulan yang kupuja dari dulu.
Karismanya yang begitu dahsyat dari bulan-bulan lain membuat aku tertarik.
Namun itu dulu.
“Maaf, Apa (sebutan spontan ku kali
itu untuk palapa)”
“Kau terlalu sempurna untuk aku.
Biarkan aku jadikan kedinginan ini sebagai teman hidupku. Tak perlu ada yang
menemani. Mungkin itu lebih baik.”
“Terimakasih palapa”
Seketika itu palapa lenyap dari
hadapanku, tak pernah aku lihat cahaya binar karismanya. Suatu ketika, mungkin
sudah lama dari peristiwa dia menembaku, di ujung sebelah utara cakrawala aku
menyendiri.
“Maaf palapa”
“Malam ini rasa dingin menyergapku
lagi, namun aku takkan pingsan lagi, karena kedinginanku telah tertutup oleh
rasa kasih hangatmu jauh disana, aku merasakannya. Sangat merasakannya. Dengar
aku...Aku menolakmu untuk mencintaimu. MAAF!”
Aku
Si Spectra-M, Bintang kemerahan yang merasakan apapun adalah dingin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar