Suara berat sang jalu ciptaan Tuhan
belum juga terdengar kala pagi ini tiba. Berbeda suasana. Berbeda cerita, yap!
1 Ramadhan datang. Muslim bertakbir, orang-orang bertaqwa bertasbih,
orang-orang mukmin bersimpuh sedang Rasulullah dulu menangis, mencurahkan
kebahagiaan hati, jiwa, pikiran, raganya dengan itu, tangisan indah.
Subhanallah manusia terbaik sepanjang masa. Orang-orang malas mendengus. Semua
orang berubah, suasana hatinya, kebiasaannya, amaliahnya.
“Aku ingin buat target setinggi
mungkin aaah!” Ucap seseorang bertubuh mungil yang nampak sangat cantik
ditudungi jibab berwarna pink.
“Bagus-bagus..hebat ya kamu
sekarang. Tau apa tentang target?” Responku sambil mengusap kepalanya lembut.
“Fizhah gito! Banyak ka! Dari mulai
harus meningkatkan tilawah, rajin tarawih, shalat dhuha tak terputus, menghafal
Qur’an dan amalan baik lainnya” jawab adikku lantang sambil menyombongkan apa
yang dia tau dari guru ngajinya itu.
Namanya Hafizhah Putri Cowler, adik
kecilku yang begituuuu aku sayang. Satu-satunya yang jadi kebahagiaanku,
satu-satunya yang jadi sahabat saat aku butuh seorang sahabat, satu-satunya
orang yang setiap harinya selalu ikhlas untuk untuk aku cubiti pipi gembulnya,
abis.. gemas sih.
“Pipi apa bakpao?” candaku padanya tiap
kali menggembungkan pipinya saat sedang melamun atau sedang cemberut.
Kami adalah adik kakak bersaudara
yang tinggal di istana yang indah..istana dambaan setiap insan dunia. Berlantai
dua dengan desain yang mewah, dilapisi pernak-pernik emas di penjuru tiap
sudutnya.Ups maaf aku tidak bermaksud seperti apa yang ada di fikiran kalian.
Dengan segala yang Mom Dad kami punya
kami tinggal minta apa saja yang kami ingin dan *TING* jadilah, ya mirip
seperti cerita Jin dan Jun.
Aku sudah biasa hidup glamour dari
dulu, sejak 18 tahun yang lalu tepatnya. Aku terpaut 9 tahun dengan adikku.
Dari dulu kami selalu di sekolahkan di sekolah internasional terkenal dan yang
paling mahal deh. Kan kita orkay dooong. Eh maaf keceplosan lagi.
Namun...di balik semua itu...
“Ka, liatin aku ngaji dong, beritahu
aku kalau salah.. Kayak ka Yusuf guru di ngaji!” pinta keras adikku sambil
memohon-mohon padaku.
Ya, well sebagai kakak yang baik,
aku pasti mau sekali mengabulkan permohonannya walau belum bisa memang.
“Bismillahirrahmanirrahim..
Alif la Mim JAlikal KAtabu LaloyBaFAHudalil Mutaqin AllaJi...” bacanya dengan kekhasan suara anak kecil,
cadel. Sepertinya Fizhah memang salah dalam membaca, tapi sayangnya aku tak
tahu dimana kesalahannya.
“Ka..ini
gimana sih bacanya aku salah ya bacanya?” tanyanya kebingungan padaku. Padahal
aku sama bingungnya.
#TET#
Alarm di telepon genggamku berdering
sekali, cukup keras.
“Aduh, maaf ya de. Aku ada acara di
luar, ngajinya diterusin sama si bibi ya.” Kataku memohon maaf pada si gembul
Fizhah.
Ini alibi yang berkali-kali aku
lakukan, sebenarnya aku berdusta. Sebenernya aku sama sekali tidak memiliki
acara di luar, aku sengaja men set up
alarm ku ketika Fizhah masuk kamarku dan sudah kutau ia mau minta diajari mengaji.Padahal..
Em. Aku yakin kalian sudah ngeh dengan apa yang aku bicarakan dan lakukan ini
untuk apa.
18 tahun aku hidup, belum sekalipun
seorang TERESIA PUTRI COWLER, ya itu aku. Mengetahui seluk beluk islam, bahkan
arti kata islam saja aku gagap menjelaskannya. Entah. Aku hanya mengikuti garis
keturunan mom, berdarah Indonesia dan
menjadi seorang muslim. Kenapa aku harus masuk islam? Padahal aku bisa masuk ke
agama dad yang berketurunan Australia
tepatnya, Kristiani.
Aku tidak pernah diperkenalkan baik
dengan agamaku oleh mom selama 18
tahun ini. Aku tidak tahu apa hakikat agama di hidupku. Aku hanya tahu
kemewahan, harta dan bagaimana untuk merawat tubuh dan utamanya wajah! Untuk
menjadi yang paling sempurna. Mom Dad
kami sudah cerai dan latar belakangnya atas dasar perbedaan agama.
Berbeda sekali aku dengan Fizhah,
walau dia masih kecil dia sudah mau mengenal agama, bukan lewat sekolahnya atau
perkenalan Mom, itu mustahil rasanya.
Tapi dia sengaja ikut pengajian dekat perkampungan yang mana teman-temannya
tidak selevel dengan Fizhah. Hebatnya dia tidak pernah menyombongkan apa-apa.
Sangat berbeda bukan?
Kembali lagi ke cerita alibi ku,
karena aku bingung harus pergi kemana, jadinya aku memutuskan menelfon teman ku
saja, namanya Jesica dan Angel, ya biasalah kebiasaan orang kaya ngapain.
Gausah nanya lagi oke.
Mereka beragama selain Islam, merekalah
yang selalu aku tempuri dengan hal-hal yang aku ingin tahu, dan bagusnya mereka
selalu menjawab apa yang aku tanya mengenai apapun yang aku ingin tahu. Dan kurasa
aku pun sependapat atas apa yang mereka katakan, aku telah tahu betul mengenai
agama satu itu. Namun Islam yang jadi agamaku? NOTHING.
“Jessica, Angel kita ke Mall aja yuk?
Ya naik mobil gue aja, baru dicuci tuh.” Ajakku pada mereka sambil
memperlihatkan putih kinclongnya kendaraan pribadiku itu yang baru dicuci Pak
Neno, supirku.
“ Aseek! Traktir lagi ya Ter!Kan lo
yang paling wuuuuuu jangan ditanya!” ucapnya kompak padaku.
Aku pun hanya mencondongkan kepalaku
ke sebelah kiri sambil bergaya centil, tanda mengiyakan.
Mall sore ini tidak terlalu sesak,
aku, Jessica dan Angel menjelajahi toko toko yang menjajakan barang mulai dari
tas, sepatu, perhiasan. Dan mungkin juga mencari tempat untuk mengenyangkan
perut. Kami harus naik ke lantai 3 menggunakan lift. Sampai di lift aku....
“Bruaaaaak”
Buku-buku berjatuhan, aku menabrak
seorang lelaki muda yang membawa banyak buku. Tidak sengaja ini! Lantas.. Yang
buat aku heran, ia bukannya marah, tapi ia hanya menatap ku lembut, seraya
melemparkan senyumannya dalam 3 detik! Yap 1,2,3 ! Aaaaaa aku rasa terbuai oleh
manisnya senyum manusia satu ini dan aku belum sempat meminta maaf karena dia
langsung menundukan pandangannya padaku.
Dengan segera sang lelaki itu pergi
sambil mengucapkan “Maaf, permisi, Assalamualaikum”
Aku
mencoba memanggil lelaki si penebar senyum manis itu untuk berbasa-basi meminta
maaf tapi lelaki itu dengan cepatnya menghilang.
“Heh..
sadar heh..” kata Angel menyadarkan aku dari pelongoanku yg masih memikirkan
bagaimana bisa secepat itu pergi.
“Gausah dipikirin, dia
yg salah, orang ga penting, ayuk kita shopping lagi” Ucap
Jessica polos.
Jessica polos.
Angel dan Jessica sudah berjalan
cukup jauh di depanku, aku hanya masih melamun daaaaan tiba-tiba aku menemukan
sebuah buku bersampul nuansa islam.
“Ini mungkin punyanya ya?Astaga
berdosalah aku, sudah tidak meminta maaf, malah mengambil bukunya eh bukan
mengambil sih menemukan. Ya tapi well, tau apa aku dengan dosa?” kataku sambil
berjalan menuju ke dua temanku itu dan terpaksa memasukan acak buku itu ke tasku
yang dipenuhi barang-barang khas cewe yang pastinya MAHAL.
17.30
*KRING*
“Assalamualaikum, kakak dimana?
Cepat pulang mom entar lagi pulang bawa pizza untuk berbuka.” Suara kecilnya
keras di telefon ku.
“Oiya Fiz, entar lagi nih abis ke Mall...
ehhh Masjid Al InsanJ” jawabku berbohong padanya.
“Alhamdulillah deh, yaudah hati-hati
kak, Assalamualaikum” tutupnya di telepon.
Aku ini apa sih, pintar sekali
berdusta.
“Heh guys lets to the go , return
home!” Kataku ajak mereka.
“Bentar keles, dikit lagi makannya.
Makan dulu dong Ter!” Kata Angel melerai keinginan pulangku.
Tanpa ingat bahwa hari ini adalah 1
Ramadhan dan belum waktunya berbuka aku
melahap makanan western itu tanpa
berdosa. Ini bukan godaan, kan Syetan sudah terbelunggu di Neraka Jahannam.Khilaf
ya khilaf.
18.30
- 1 Ramadhan
#TOKTOKTOK#
“Woy buka woy, denger ga woy!”
Kataku keras menggedor pintu rumah.
“Sebentar sebentaaaaar.” Terdengar
suara yang nampak masih jauh dari pintu.
TREK..
“Eh kakak, waalaikumsalam.. dari
mana aja nih? Sudah buka puasa?” tanya Fizhah.
“Minggir-minggir kekenyangan nih.
Mau tidur” jawabku sinis padanya.
“Alhamdulillah dong, udah buka! Ka...
sebentar lagi tarawih, ayo semangat hari pertama tarawih!” ajaknya semangat
padaku.
Tapi aku hanya diam tanpa menjawab
ajakannya.
19.00-1
Ramadhan
Lipstik pink terang
dengan bedak yang cukup tebal dan eye shadow tidak terlalu nampak begitu cantik
menemani paras eloknya, ya itu mom ku dan Fizhah. Rasanya, kami Tak pernah
merasakan kasih seorang ibu belakangan ini, tak ada waktu untuk kita, 1 detik
sekalipun. Pulang-pergi-pergi-pulang ya itu kesehariannya belakangan ini, entah
apa yg dia lakukan, aku dan Fizhah hanya mengelus dada. Mungkin kita gaada
artinya ya Zhah di matanya. Pikiranku berkecamuk.
“Mama pergi dulu ya Zhah, Ter!”
Teriak wanita itu tanpa menghiraukan pintu depan yang berukuran kurang lebih 4m
yang belum sempat ditutupnya.
“DASAR!” Mulutku seenaknya berbicara
dengan nada tinggi.
“Hayo kaka.. sabar..Ramadhan loh”
Ucap Fizhah menurunkan emosiku.
“Hehehe. Biarin dong Zhah, udah buka
puasa ini kan? Bebas dong” Mulutku seenaknya lagi bicara ngawur. (Sok sokan
bicara buka puasa padahal sudah buka duluan sebelum waktunya {dipertegas lagi
itu bukan godaan, karena syetan sudah terbelenggu. Khilaf ya khilaf.})
“Hahaha kaka ini ada-ada saja..” tawanya
jadi akhir di candaanku dengannya sore itu.
Adzan isya berkumandang, panggilan
teman-teman Fizhah jadi kebisingan di kala isya.Ya. istilahnya “nyamper”. Aku
hanya memandang enyuh dari balik gorden jendela kamar ku di lantai dua. Kulihat
Fizhah dengan busana muslim hijau keluar dari gerbang istana rumah kami yang
cukup tinggi untuk anak seukurannya. Setelahnya pergi, aku segera menutup
gordenku rapat-rapat.
10
Ramadhan – Malam hari
Bintang
bintang membentang teratur dalam barisan cakrawala langit, titah Tuhan nampak
di tiap waktu berdetik, menjemu waktu tanpa sebuah ambang batas kepiluan.
Kebahagiaan umat muslim di malam ini jadi penambah terangnya langit dalam
persimpuhan pada kuasaNya yang begitu besar.
”Hai malam, kau sedang bahagiakah?
Cahaya dari bintang-bintang yang berkelip itu seperti titik-titik yang
membentuk ulasan senyum pada kulit malammu” kubuka pembicaraanku dengan sang
malam.
“Hai malam, senyummu mengingatkanku
pada seseorang.” Lanjutku berbicara bersama sang malam.
“Hai malam, aku baru ingat! Ya 8
hari lalu aku bertemu dengannya, aku tak sengaja menabrak bawaannya dan aku
belum sempat minta maaf. Dosakah aku?”
“Hai malam, aku pun baru ingat
kembali, aku menemukan satu buku yang tertinggal dibawa olehnya karena terlalu
banyak buku yg berserakan. Aduuuh”
“Hai malam, bagaimana ya baiknya, haruskah
aku mencari siapa lelaki penebar senyum manis itu? Pentingkah? Bukannya dia yg
salah? Haruskah aku mengembalikan buku itu?”
Sudah lima pernyataan yang dicampuri
oleh pertanyaanku pada sang malam lantang kuajukan padanya. Tapi jawabnya hanya
sederhana, bintang-bintang yang kupandangi itu terlihat semakin bercahaya “Oh
dia setujuJ”.
Bukan ilusi memang, benar dia mengisyaratkan jawabannya lewat cahaya bintang
itu.
“Terimakasih malam! Kau kuangkat
jadi sahabatku mulai malam ini” teriaku cukup keras pada sang malam dan segera
menutup jendela ku yang terbuka lebar.
Buku itu seakan langsung jelas
terlihat oleh pandangan sampingku, ya jadi apa boleh buat, aku coba melihat
buku nya, hanya dilihat kok.
“Kurang menarik sih ya” opiniku
menunjuk ke sampul buku lelaki itu. Ya kau tau, hanya bersampul putih dengan
editan bayang-bayang berbagai bentuk tempat ibadah terutama masjid yang lebih
banyak memainkan bayangan di berbagai sudut sampul. Untukku agamaku dan Untukmu agamamu itu judulnya.
“Yaa lumayan ada gambar dan colourfull, bisa lah dibaca-baca.” Pelan
hatiku bicara sembari sesekali melihat acak isi buku dari halaman 1 ke 5 ke 9
ke 18 dst.
“Ups, tapi, kalau lelaki itu mencari
buku ini lantas dia otomatis tidak ikhlas kepada siapa yg mengambil dan membacanya,
dosakah aku? Huh! Bodo amat” pikiranku berkeliaran kemana-mana.
Buku itu tepatnya ada 150 lembar
diawali oleh hakikat agama yang dikemukakan berbagai tokoh, lalu dilanjutkan
dengan deskripsi macam-macam agama dunia dan terkhususnya Indonesia, lalu
perbedaan masing-masing agama dan bab terakhir menceritakan indahnya agamaku.
Katanya sih bab terakhir yang paling seru.
“Bikin penasaran sih. Keren. Udah
dulu deh sampe halaman 23, besok dilanjut. Bodo ah, dia cari juga! Udah milik
gue ya!” kataku ngomong seuenak hatiku.
Aku pun terlelap tanpa untaian doa
sebelum tidur, juga tanpa air wudhu. Tidur begitu saja. Dasar aku ini.
Sang
malam memandangiku sembunyi lewat lubang-lubang ventilasi kamarku yang tidak
berukuran besar, tapi itulah sang malam, terlalu luas tanpa batas sehingga bisa
melihatku lewat mana saja, bahkan ventilasi yang sangat kecil sekalipun, ia
memandangiku dengan senyum yang diulas semakin lebar. Terus dan terus tanpa
henti, hingga fajar mengambil hak nya untuk membuka tabir pagi.
Perpindahan
antara malam dan pagi tiba sekitar pukul 3, dan ketahuilah di 1/3 malam
terakhir itu orang-orang bertaqwa berjuang, tafakur di masjid, memuja muji asma
Allah lewat puluhan tasbih, ratusan tahmid, ribuan takbir yang sampai menggema
memenuhi ruang surga dalam dekapan hangatNya. Berjuang pula dalam tilawah
berkali-kali lipat karena Allah membalas 1 huruf dengan 70 kebaikan. Indahnya kau Ramadhan:’)
20
Ramadhan – Waktu Sahur
Selama 19 hari ramadhan berlangsung,
selalu lah Fizhah yang jadi alarm pembangun ku untuk sahur. Mom? Tak usah diharapkan. Padahal, tahun
lalu dan sebelumnya mom lah yang
selalu bangunkan aku dan Fizhah untuk bangun, kami sahur bersama. Tapi, 1 tahun
belakangan ini ketika mereka putuskan berpisah. Mom berubah drastis, dia orang lain sekarang. Jika aku punya 1000
jempol, akan kuberikan pada Fizhah semua, aku sangat bangga sekaligus malu
memiliki adik yang begitu solehah. Aku bukan apa-apa, hanyalah seorang kakak
yang banyak berdusta, khilaf tak berbatas dan memang bukan teladan baik.
“Tiba juga di bab 4 buku si lelaki
penebar senyum manis itu! Ini yang kutunggu-tunggu, yaaa berkat buku ini
setidaknya aku tahu hakikat agama kini, agama adalah sesuatu yg akan mengantarkanku pada surga atau neraka
dan kini InsyaAllah aku sudah mantap dengan pilihan agama terbaikku. Islam,
Islam, Islam pilihan terbaikku!” lantangku sampai menggema terus di hati.
22
Ramadhan – Malam hari
“Buk”
Kututup rapat-rapat buku itu.
Selesai sudah 300 halaman dibaca olehku dan tersampaikan ke hatiku.
“Ini hebat!! Karya terindah dan
maknawi dari berbagai buku yang pernah aku baca” (Karena hanya membaca tabloid)
Aku bergegas melihat kalender dan
seketika menyesal setelah mengetahui bahwa hari ini adalah hari ke 22 Ramadhan.
“Bodohnya aku tlah melewatkan 21
hari Ramadhan kemarin tanpa amaliyah satu pun, dan lagi puasa banyak tak tuntas
yang bukan karena godaan syetan adanya, tapi khilaf. Astagfirullah
Astagfirullah.” Sesal ku cukup lama, air mata penyesalan mulai jatuh secepat
jatuhnya air dari hasil infiltrasi laut yang melewati dahan dan cepat jatuh ke
bumi. Sesalku tiada guna, sesalku hanya pembuang waktu belaka. Air mataku
semakin deras turun. Air mata penyesalan.
“ka...kenapa ka..???” tanya Fizhah
iba yang tak sengaja melihatku sedih sampai menitikan air mata.
“Zhah.. Kapan aku bisa kaya kamu..
Kapan aku bisa jadi teladan buat kamu.. Kapan Zhah. 21 hari Ramadhan kemarin
aku lewatkan begitu saja, tanpa amaliyah yang cukup” curahku pada Fizah masih
sambil menangis.
“Aku yakin Allah selalu melihat
kebaikan kaka.. aku hanya seorang anak kecil tanpa bisa ka, jangan berlebihan.
Malah kaka teladan banget buat aku, kaka baik, cantik, pintar merawat tubuh,
aku bangga punya kaka seperti kaka.” Jawabnya bijak seraya ikut masuk ke
limbung kesedihan bersamaku.
Logiskah? Aku terpaut 9 tahun
dengannya! Tapi.. nyatanya, cubit aku. SAKIT, ini memang nyata. USIA MEMANG
BUKAN PENENTU KEDEWASAAN. Aku lebih kekanak-kanakan.
“Yaudah gini aja, besok kan aku
seperti biasa ke pengajian di dekat perkampungan sana, kaka ikut ya. Mumpung
Ramadhan belum habis dan masih bisa menambah amal, disana ada kaka Yusuf yang
suka mengajariku, ayo ka mau ya...” pintanya yg coba tuk melerai kesedihan yang
gerogoti jiwaku.
“Ya Zhah, makasih banyak. Aamiin
semoga bisa menambah ibadah dan menggugurkan dosa-dosa yang menggunung miliku.”
23
Ramadhan – 15.30
Aku dengan Fizhah diantar Pak Neno,
supir kami, menuju ke tempat pengajian itu. Di perjalanan aku hanya memikirkan kesalahanku
22 hari lalu, begitu menyesal aku.
“Alhamdulillah tiba juga ka.. ini
tempatnya” kata Fizhah dengan raut senang.
Tempat
itu.. Bukan berupa tempat mewah yang dipenuhi cahaya glamour pernak-pernik
perhiasan di berbagai pejurunya, tapi tempat itu dimewahi dengan cahaya amal-amal
surga di tiap jejak, dinding dan atapnya.
“Itu
Ka Yusuf yang sering aku bicarakan ka.” Kata Fizhah menunjuk lelaki muda yang
disapa ka Yusuf oleh anak-anak didiknya.
Lidahku mati. Bibirku pucat
seketika. Raga ini rasanya tak bisa bergerak. Pikiran ini berkecamuk. Itu dia!
Seseorang yang pernah aku tabrak! Seseorang yang belum maemaafkan kesalahanku.
Itu! Seseorang yang punya senyum manis! Dan yang pasti dia Seseorang yang
memiliki buku itu! Buku yang buat aku sadar.
“Aku banyak menaruh kesalahan
padanya” ucapku pelan sambil menunduk.
“Ayo ka masuk. Assalamualaikum” Ajak
Fizah yg menarik tanganku lalu masuk ke masjid itu sembari mengucapkan salam,
aku pun ikutan berkata salam.
“Ass..assalam..mualaikum” salamku
gagap rasanya.
“Waalaikumsalam.. Fizhah dateng nya
ga telat lagi nih. Itu siapa Zhah?” Katanya lembut sambil menunjuk sopan
padaku.
“Ak..aku kakanya Fizhah dan sekaligus
ingin mengaku sebagai orang yang punya banyak kesalahan ke kamu, aku orang yg
waktu itu nabrak kamu di lift pas di mall, ga sengaja loh, dan dan aku
menemukan buku ini, ini punyamu kan?” Jawabku jujur sambil memperlihatkan buku
itu , apa boleh buat.
Dia diam tanpa kata,. Sembari
melemparkan senyumnya, dan hampir buat aku pingsan. Untung hanya 3 detik. 1 2 3
! Yap, Selesai. Fizhah hanya melongo, pipinya lagi-lagi tak terkontrol,
menggembung menyerupai balon sekarang.
“Ini yang telah lama ana cari..
Terimakasih ya, antum baik sekali. Ayo kita langsung mengaji saja” Katanya
melegakan suasana, namun aku masih tak lega.
“Seharusnya kamu memarahiku dong!
Buat agar aku bersalah gitu. Huaaaaa pokoknya ampuni aku ya! Huaaaaa” balasku
dengan nada tinggi padanya.
“Sssst ini masjid. Sudah-sudah mau
mengaji kan?” tanyanya mengakhiri ke bisingan ku.
Aku menganggukan kepala tanda
setuju.
Subhanallah. Mulia sekali hatinya.
Malaikatkah seseorang yg bernama Yusuf ini Ya Allah? Ramadhan memang
benar-benar jadi ajang gali amal untuknya, tanpa setitik wajah sinis, tanpa
emosi dia mengakhiri kebisingan pembicaraan ku dengannya. Terimakasih. Tanpa
bukumu...
Hati yang masih ingin berbicara ini
seketika diberhentikan oleh celetukan Fizah yang membuat pipiku semakin merona
merah.
“Ka, emang kakak kapan ke mall?
Bukannya kaka waktu itu bilangnya ke masjid Al Insani ya?” Tanya Fizah yang
memastikan sambil masih nampak melongo dengan pipi yang masih menyerupai balon
itu.
Aku hanya tersenyum simpul seraya mengelus
pelan kepala Fizah agar melupakan kedustaan ku waktu itu. Bukan godaan tapi
khilaf~ hehehe.
MAAF
INI GAJE
TERINSPIRASI
DARI TAUBAT SESORANG DI BULAN PUASA HEHE
Tidak ada komentar:
Posting Komentar