Mobil warna biru
bertuliskan taksi melayang dalam naungan jalanan gelap metropolitan, hanya ada
sedikit cahaya lewat warni-warni sorot lampu malam dan kunang-kunang yang
beriringan terbang serta cahaya lampu mobil taksi tua itu yang tersisa dalam
penghujung malam. Ada lelaki berperawakan besar disana. Lelaki yang putus harap
akan penumpangnya hari itu. Selang beberapa waktu, mobil yang dikendarainya
diam, berhenti dalam gerak malam itu. Terucap sepenggal kata dari bibir sang
supir taksi itu.
“Hidup itu berputar,
aku yakin kuasa Tuhan”
***
Marni,
si wanita desa yang cukup cantik itu kini menetap hanya dengan buah hatinya
yang masih belia sekali, baru 2 bulan umur hidupnya. Juga bersama wanita renta
yang dulu pernah menimangnya, menggendongnya dan memeluk serta mengecupnya
dengan ketulusan. Dialah Sang ibu yang sangat ia cintai, sudah tak ada lagi
lemak yang tersisa, hanya kulit keriput yang lekat di tubuh yang sudah
merontanya itu. Diingatnya kembali dulu, saat semuanya masih sempurna.
“Mas...Sarapan dulu ya.” Kata Marni pada seseorang yang
duduk di ubin hitam rumah ibunya itu.
“Iya dik, hari ini kita makan apa?”
“Seperti hari kemarin, kemarin, kemarin dan kemarin juga
kemarinnya lagi.” Jawab Marni dengan senyum yang kurang lebar, terlihat suatu
senyum paksaan.
Dilahapnya singkong yang setiap hari jadi bahan makannya
di rumah tua itu. Kekurangan dan kesederhanaan menjelma kehidupan mereka dalam
harapan kebahagiaan yang terkubur dalam lewat keadaan. Marni menyesali apa yang
telah dia putuskan.
“Bolehkah aku meminangmu wahai wanitaku?” ucap rayunya
diantara taman bunga di tengah desa yang bertebaran hijau hijau warnanya.
Marni hanya terdiam dalam lautan rayu yang tak berujung,
dia seakan dibuat bisu akan cinta yang terucap mesra di hari lalu bak hari yang
berbunga mekar. Saat-saat indah yang hanya mutlak ada satu kali dalam hidupnya
itu. Diamnya Marni diartikan sang lelaki sebagai kata penyetujuan dalam
penawarannya itu. Jadilah sang lelaki meminang Marni dengan modal nekad dan
tanpa sebarang pun barang untuk saksi pernikahannya ataupun uang yang
bertele-tele dalam nominal, atau modal tempat tinggal yang telah dibuatnya,
tidak ada satu pun diantara itu yang memenuhi haknya untuk meminang keluarga
Marni yang mulanya berkehidupan lebih baik daripada seusai pernikahannya.
“Mas janji akan belikan cincin pernikahan untuk kita”
Ucap lelaki itu saat minggu minggu pertama pernikahannya tiba.
“Kapan mas?” Tanya Marni yang masih diliputi rasa bahagia
dalam menunggu kepastian yang seolah-olah hanya mimpi.
“Suatu saat nanti Marni”
Itulah kata-kata yang selalu terbersit menjadi simbol
kebahagiaan Marni dalam kepastian yang ditunggu, hanya reka-reka fantasi dalam
naungan, pikir Marni. Ayahnya kepala Desa Karanganyar begitu berat menyetujui
pinangan sang penganggur desa yang dikenal jadi penganggur yang paling
menganggur di desa itu.
“Malang nian nasibmu nak!” ketus Ayah Marni yang
ditumbuhi ketidaksukaan pada sang lelaki.
“Bukan karena dia malas ayah, dia menganggur karena belum
mendapatkan pekerjaan layak” Jawab Marni dalam kesantunan nya pada ayahnya itu.
“Parasmu, lakumu dapat mempertemukanmu kepada lelaki yang
lebih pantas dari lelaki tak karuan itu! Bisa bobrok kedudukanku di desa ini”
kata sang ayah lagi tak kalah ketusnya pada Marni.
Marni hanya menatap hari dalam kesenduan, lalu diajaknya
oleh sang lelaki untuk nikah diam-diam ke kampung sebelah.
“Namun ibu harus ikut, aku tak mampu untuk
meninggalkannya sendiri mas” Marni berkeluh pada calon pasangan hidupnya.
“Iya, silahkan Marni, bawa ibumu bersama kita, semoga ibu
bisa membantu kita merawat buah hati kita kelak” Sang lelaki menutup
pembicaraan dengan si gadis jelita yang akan segera dipinangnya diam-diam itu.
Satu tahun pernikahannya berlalu, Marni dan lelaki itu
dikaruniai buah hati yang eloknya mirip sekali dengan sang lelaki, bentuk
wajahnya, matanya yang bersinar, bibir yang tipis, kulit kekuningan dan badan
yang bisa dibilang berisi. Namanya Genta.
Tempat tinggal Marni, suaminya, Genta dan sang ibu
menjadi pelindung baru dari hari panas yang menyergap, dari kedinginan malam
yang menyepi. Tepatnya berada di ujung selatan Desa Antarjadi, dekat Jembatan Kertosuro
yang menghubungkannya dengan kota, ah sebenarnya tidak dekat, terlampau sekitar
20 kilometer lebih menuju kesana.
Sang lelaki setiap kali seakan bersalah atas kehidupan
Marni yang tak berubah selama menjadi istrinya, malah berkehidupan lebih buruk
dari sebelumnya. Sang lelaki selalu menangis dalam gelap malam, saat semua
orang rumah telah pulas dalam bunga tidur malam yang mereka-reka kejadian
fiksi. Sang lelaki makin terpuruk akan ke frustasiannya. Di tengah malam itu
sang lelaki memikirkan hal di luar batas pemikirannya sebelumnya, ia memikirkan
hal yang kemungkinan akan membuat anak, istri atau mertunya dapat sedih namun
dapat pula bahagia jika kenyataan baiknya dapat terwujud secara pasti. Sang
lelaki membatu dalam keheningan malam, dalam kesunyian lorong-lorong di bawah
langit malam, malam itu hanya dirinya dan pemikirannya yang menyisakan sebuah tanda tanya, apa itu harus dilakukannya? apa
dia takkan menyesal nantinya?
“Toh, jika aku berhasil, mereka pun akan ikut bahagia”
pikirnya mengakhiri perdebatan batin diantaranya dan keheningan suasana gelap
itu.
Fajar menyingsingkan hari indahnya, pagi itu embun embun
berkeliaran ke semua penjuru desa Antarjadi.
Ke sebelah selatan, Di Desa Karanganyar terlihat sosok bapak tua yang
telah rapuh kepemimpinannya di sana, dia jadi tak waras, kesana kemari mencari
anak, istri nya yang hilang.
Marni selagi itu sedang memberi upah susu kepada Genta
sehabis menangis, kini tangisan Genta lebih keras daripada biasanya, seperti
tersirat suatu makna terdalam yang ingin disampaikan pada ibunya yang kini
berada tepat di depan pandangannya yang sudah tak kabur lagi, umur hidup Genta
mencapai 1 tahun sudah.
“Nak, kenapa nak..cupcupcup” Ucap Marni lembut pada Genta
agar lebih tenang.
Namun Genta malah menantang dengan semakin menangis
tersedu lebih keras lagi dari sebelumnya, ibarat petir yang menyambar siang
bolong, tiba-tiba seperti ada sesuatu yang janggal.
“Mas..Mas..Mas....” Dipanggilnya sang lelaki agar datang
kepadanya dan Genta yang masih rewel saat itu.
Hening. Tak ada jawaban. Hanya sesosok wanita tua yang
menghampirinya dengan gelagat kepanikan yang cukup membuat orang yang
melihatnya dapat sama-sama panik.
“Uu...cucu nenek, sini sini..” dipangkunya sang cucu
dengan ketulusan luar biasa, tak ada mata melotot untuk mendiamkan Genta, hanya
secarik simpul senyum nenek Retno yang bisa membuatnya sedikit lebih tenang.
Marni yang menjadi lebih baik setelah melihat ibunya bisa
mendiamkan Genta, segera meninggalkan Genta dan sang ibu, menuju ruangan demi
ruangan di rumah itu yang tak terpaut jauh, hanya sekitar 1 meter. Dicarinya
sang lelaki yang ia panggil “Mas..” tadi. Paniknya memuncak lagi ketika tak
menemukan apa yang dicarinya itu, hanya secarik kertas di atas ranjang kamar 4x4
m yang mampu membuka sinar penerang menuju hal yang sedari tadi dicarinya.
Sejurus kemudian, hanya pasrah dan kekuatan yang bisa
dilakukan Marni, seakan tak pernah ada lagi gairah tuk menjalani hidup setelah
sekian lama Marni menunggu, sekian lama Marni menjalani hidup diantara sisa
sisa kekuatan yang diberi dari secarik kertas yang isinya bertuliskan tinta
hitam. Hanya kekuatan do’a yang bisa ia sampaikan pada sang lelaki yang tak
bersama dengannya lagi, Genta ataupun Ibu. Iya, si lelaki meninggalkan rumah.
Dalam pikiran Marni, hanya terbersit ingatan isi surat
itu, ada kata-kata perpisahan dalam penyiratannya ‘Marni, jaga baik-baik Genta dan ibu ya. Mas mau mengadu nasib di
seberang jembatan Kertosuro, kota metropolitan yang katanya keras, doakan mas.
-Salam terkasih-“
Dua tahun telah berlalu, Marni masih kuat dalam doa yang
dipanjatkan untuk suami terkasih di sana, Genta pun tumbuh dan berkembang
menginjak usia 2 tahun. Nenek Retno semakin menghela nafas akan keputusan
menantunya yang kurang tepat, kenapa dia tidak membicarakan dulu bersamanya.
Dirinya menyayangkan hal itu. Tersungkur lah dirinya dalam banyak pikiran yang
menimpanya, hanya iringan tasbih yang menemani hari-hari akhir yang mungkin
akan bertemunya sebentar lagi.
Marni masih kuat dalam genggaman secarik kertas di tahun
ketiga sepeninggal sang lelaki, Genta kini telah bisa mengucap kata ‘mama’
ataupun ‘ayah’ walaupun di setiap kata ‘ayah’ dia seakan menyisakan tanda tanya
“siapa ayah?” namun Genta masih kecil, tidak bisa mengungkapkan keingintahuannya
itu.
Tibalah tahun keempat, dimana sang lelaki tak ada kabar.
Hari itu Hati Marni jadi tak karuan ketika diberitakan Joni si pemuda yang
melanglang ke kota dan baru pulang perihal sang suami yang katanya sempat ia
temui.
“Marni, Suamimu sudah lancang main api!” Dengan
lantangnya Joni melancarkan misinya.
“Apa maksudmu?” tanya Marni diliputi keheranan dan tanda
tanya.
“Aku tahu dia sudah beristri lagi, bahkan sudah punya
anak”
Seperti dihantam bom raksasa, hati Marni seakan rapuh,
patah, menangis diantara puing-puing kekuatannya dalam menunggu sang lelaki,
rasa geram menyelimuti jiwanya yang sudah banyak diadu rasa marah, kesal dan
lelah. Teriaknya seakan dibisukan, hanya air mata yang mengalir di mata indah
Marni yang mampu merasakan apa yang Marni rasakan saat itu. Bongkahan cinta
Marni seakan pupus dilahap rasa kecemburuannya pada si wanita yang telah
diperistri lelakinya di kota.
“Kurang setia apa aku, menunggunya 4 tahun, lalu itu yang
dihadiahkannya untukku?! akan ku cari dia!Akan kuancam dia agar menceraikan aku
jika dia tak menceraikan si wanita murahan itu!”
“Atau akan aku ancam jika dia tak menceraikan wanita itu,
aku akan bunuh diri.”
Segala resah yang melanda hati Marni diungkapnya lewat
kata-kata hati itu, tak ada yang bisa melebihi kesetiaan seorang wanita selain
rasa tulus. Marni mencintai tulus sang lelaki, namun apa timbal baliknya, apa
sang lelaki sudah tak peduli akan adanya Marni?Padahal sang lelaki yang begitu
menggebu menikahi Marni sampai-sampai meninggalkan Ayah Marni yang tak setuju
akan pernikahan mereka.
Harap-harap baik Marni pada sang lelaki terus berjalan ke
arah kecemasan yang semakin mendera, diputuskannya untuk pergi ke kota lewat
Jembatan Kertosuro, Marni sudah seakan tak waras, mengambil keputusan bukan dipikir
dulu. Cepat-cepat Marni mengemas baju secukupnya dan mengambil tabungan kecil
uang hasil jadi buruh cuci nya selama 4 tahun ini.
Anak lelaki bermata mirip sang lelaki yang sedang ingin
ditemuinya hanya menatap sendu sang ibu, Marni membalas tatapan Genta dengan
rasa iba.
“Sebenarnya ibu tak ingin meninggalkanmu Genta, namun apa
daya, ayahmu sudah kelewatan” ucap Marni sambil mengelus kepala Genta yang baru
ditumbuhi rambut-rambut halus.
Jeritan keras Genta tak terbendung dari arah rumah
kontrakan di Desa Antarjadi itu. Sang ibu hanya mengangguk sedih untuk melepas
Marni yang mau berjuang ke kota, mencari sang lelaki yang dibilang Joni sudah
main api.
Jembatan Kertosuro sepanjang 20 km ditempuh Marni dengan
harap-harap besar, ingin bertemu sang lelaki di kota, saat bertemu ingin
langsung Marni mengancamnya dan setelah itu jika ancamannya tak dipedulika,
Marni akan pulang dalam naungan kesedihan. Mungkin itu lebih baik ketimbang
harus terus menunggu di desa, walaupun sakit namun setidaknya dapat membalas
kecemburuannya, pikir Marni.
Setibanya di kota, Marni tak tahu arah, hanya foto sang
lelaki yang membawanya berani pergi ke kota untuk mencari sang lelaki. Di
pikiran Marni, Jakarta itu ibarat desa lamanya, Karanganyar atau desa Antarjadi
yang terpaut dekat jika disamakan dengan sungai, ibarat hulu dan hilir yang tak
jauh jaraknya. Namun, Jakarta ternyata luas, besar, dipenuhi gedung-gedung
tinggi. Maklum Marni setelah menikah dengan sang lelaki hanya jadi buruh cuci
desa yang tidak memahami teknologi, untuk memenuhi hidup saja sudah susah
apalagi punya barang-barang mewah.
Tangisan Genta saat kepergiannya mengingatkan kembali
pada rumah kontrakannya di desa Antarjadi, pikirannya berkecamuk antara harus
kembali atau tetap mencari lelaki itu, lelaki tak bertanggung jawab yang tak
ada kabar 4 tahun ini selama di metropolitan, tak ada jejak-jejak lelaki itu
ditemukan Marni. Seketika pikiran Marni terfokus pada satu hal dimana perkataan
Joni yang belum tentu benar.
“Kok bisa aku percaya kata-kata si Joni itu. Belum tentu
dia benar, bisa jadi dia mau membalas apa yang kami lakukan padanya dengan
mengadu domba kami, dia kan masih dendam pada keluargaku yang menyeretnya ke
kantor polisi karena ketangkap basah mencuri”
Baru teringat hal itu ketika genap 30 hari dia di kota,
tak ada jejak sama sekali yang bisa Marni dapati, pulanglah Marni ke Desa
Antarjadi yang setelahnya berperawakan lebih kurus, wajahnya lebih tirus
daripada sebelumnya, bibirnya pucat pasi dan tak terlihat adanya gairah hidup.
Metropolitan yang buatnya begitu, ah bukan sang lelaki tepatnya. Sesampainya
kembali di rumah kontrakannya, bola mata Marni tertuju pada lelaki yang sedang
duduk di kursi tua rumahnya, sang lelaki memandang Marni dari ujung kaki sampai
ujung kepala, sejurus kemudian lelaki itu memeluk Marni erat yang jauh berbeda
daripada 5 tahun lalu, namun kesucian cinta tak dapat memburamkan sejatinya
cinta, setelahnya dicium kening Marni seraya bersimpuh di hadapan kakinya.
“Marni...”
“Maafkan Mas.”
Marni terdiam seribu bahasa, mengangkat tubuh Lelaki itu
untuk bisa sama rata, dengan sama-sama berdiri.
“Kamu kemana saja 4 tahun ini mas?” tanya ketus Marni
tanpa menatap wajah suaminya itu secara langsung.
“Ini untukmu” diselipkannya cincin berlian ke jari manis tangan kanan Marni.
“Apa ini?” tanya Marni melongo tanda heran.
“Ini janjiku dulu, aku baru bisa menyanggupi sekarang”
“Darimana ini?selama ini kamu mencuri mas?” lagi lagi
tanya Marni.
“Aku berjuang di kota Marni”
“Bohong, kamu tlah khianati aku mas!” seru Marni pada
lelaki itu, teringatnya pada kata-kata Joni, si pemuda yang melanglang ke kota.
“Itu bohong, 4 tahun ini aku berjuang di kota. Mulanya
aku jadi supir taksi, namun..”
“Namun.. Tuhan berkehendak lain, di tahun ketiga Mas
bekerja, sang pemilik taksi-taksi itu meninggal dan memberi wasiat yang
berisikan segala harta dalam bentuk taksi-taksi nya menjadi milikku. Begitu
Marni. Di tahun keempat Mas bekerja, Mas menjalani usaha itu dengan
bersemangat, syukur, lagi-lagi kuasa Tuhan, sekarang mas sudah punya rumah di
kota Marni” jelas lelaki itu pada Marni.
“Mas..Mas Paijo, selama ini aku kira kau bermain wanita
lain di sana, aku kira kau melupakanku dan Genta. Joni, joni yang berkata”
lirih Marni pada suaminya.
“Joni?Joni sudah meninggal seminggu lalu di kota, dia
sudah meninggal, jadi korban tabrak lari di kota, mata kepalaku saksinya.”
Beritahu suaminya, Mas Paijo pada Marni.
“Inalillahi Wa
Inailahi Rojiun...Aku tak percaya, bahkan dia masih bisa mengadu domba kita
dulu, dia masih dendam terhadap masalah pencurian itu” Marni bereaksi kaget
akan pernyataan suaminya itu.
“Ya sudah..Semoga dia diberi tempat terbaik di sana,
Aamiin. Marni, ibu, Genta mari kita buat kehidupan baru di kota?” Ajak Paijo
dengan muka sumringah.
Genta senyam senyum layaknya bayi yang diberi upah susu,
Nenek Retno pun ikut-ikutan terseyum pertanda setuju namun Marni berbeda
rupanya.
“Lalu bagaimana dengan ayah? Marni tak tega biarkan nisan
ayah sendiri, Ayah sudah meninggal mas..” haru tangis Marni tersusut di pelukan
Paijo.
Pelukan hangat itu membawa pada ketentraman hati Marni
seperti sediakala, senja hari tampakan lembayungnya, membawa keluarga kecil itu
kembali ke Desa yang pernah jadi tempat hidupnya, Desa Karanganyar, disana
nisan bertuliskan ‘Abdul Binti Sumah’ diguyur air dan kembang-kembang wewangian
oleh keluarga kecil itu. Setelah permintaan maaf dan doa terpanjatkan di depan
nisan, mereka menuju ke arah mobil warna biru bertuliskan ‘taksi’, hari sudah
menampakkan warna kelamnya, di dalam mobil bertuliskan taksi itu. Genta
bertepuk tepuk riang melihat pemandangan di luar jendela malam, Nenek Retno tak
kalah gembira karena sudah tenang tak ada kata ‘nanti’ lagi untuk berziarah ke
makam suaminya. Sedang sang dua hati yang telah menyatu kembali, Paijo dan
Marni menikmati malam itu dengan bercengkrama dalam lautan kebahagiaan yang
telah tereka di depan mata.
Mempercayai hal yang tidak mungkin adalah sebuah titik
balik seseorang dapat tergerak jiwa dan semangatnya mengubah kepercayaan itu
menjadi sesuatu yang mungkin.
“Hidup
itu berputar, aku yakin kuasa Tuhan”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar